"Sayang, apa makna pernyataan Amien Rais mengenai Jokowi-Ahok yang katanya kemenangan mereka merusak demokrasi?" tanya kekasihku sambil menyandarkan tubuh indahnya padaku.
"Oh, itu pernyataan orang bingung yang tak tahu diri..he he he," sahutku sekenanya.
Kami berdua tengah menikmati alunan music lewat radio di mobil yang aku kemudikan. Lagu We are young, so we set the world on fire mengalun menghentak. Aku sendiri tak tahu siapa penyanyinya. Rasanya lagu itu khusus anak muda. Anak-anak mudalah yang dianggap bisa mengubah dunia. Bukan para renta yang tidak bermoral. Rasanya lagu itu kontras dengan pertanyaan kekasihku tentang kekuasaan. Tentang Amien Rais yang semakin tua semakin galau.
"Lalu kenapa Amien Rais tetap saja mengeluarkan pernyataan negatif?" tanya kekasihku lebih jauh.
"Oh itu ada hubungannya dengan aspek psikologis orang tua galau..." sahutku sambil menerangkan lebih jauh.
Pernyataan dan tingkah laku Prof. DR. H. Muhammad Amien Rais, MSi alias Amien Rais semakin membabi buta. Kritikan pedas di media sosial terhadap dirinya tak mempan. Pernyataan negatifnya yang memojokkan Jokowi dalam kampanye Pilkada DKI gagal membendung Jokowi-Ahok menjadi Gubernur dan Wagub DKI. Gandengan tangannya bersama Hidayat Nur Wahid dan Marzuki Alie serta Rhoma Irama gagal menjadi pendorong rakyat mendukung Foke-Nara.
Pernyataan di Solo yang memojokkan Ahok sekarang dan menyatakan demokrasi akan mati adalah pernyataan yang berlebihan. Tidak penting sekarang ini yang menguasai ekonomi; China, India, Amerika, Jawa, Batak, Ambon sudah tidak penting dibesar-besarkan. Kalau Amien Rais ingin bicara ekonomi yang dikuasai oleh etnik tertentu silakan. Memang faktanya demikian.
Bank-bank plat merah alias bank BUMN hanya mengucurkan uang pinjaman kepada mereka yang mau diajak berkolusi alias korupsi. Akses itu dimanfaatkan betul oleh para pengusaha. Salah sendiri para pejabat bank dan kalangan pemerintah berkolusi dengan pengusaha.
"Jadi kebangkrutan dan korupsi besar-besaran karena kolusi antara pejabat dan kalangan penguasaha ya?" tanya kekasihku sambil mencium keningku.
"Oh iya. Banyak contoh. Hartati Murdaya. Djoko S Tjandra. Nazaruddin. Hadi. Nunun Nurbaeti. Nazaruddin. Gayus Tambunan. Ayin. Semuanya dekat dengan penguasa dan pengusaha," jawabku pendek.
"Khusus untuk Amien Rais?"
Oh kalau manusia yang satu ini aneh bukan main. Rasanya Amien Rais selepas kehilangan kekuasaan di MPR dan gagal menjadi presiden 2004 menjadi manusia bermasalah dengan dirinya. Rasa nikmat menjadi pejabat memabukkan dirinya. Makanya satu-satunya mainan miliknya ya PAN. Dengan PAN Amien Rais masih dianggap sebagai manusia oleh banyak orang. Amien Rais masih bermimpi didengar omongannya. Karena bagi orang secerdas dan sebrillian Amien Rais, tak ada kenikmatan selain ucapannya didengarkan oleh banyak orang.
Manusia semakin tua semakin dekat dengan kubur dan kematian. Kenikmatan duniawi bahkan bisa menutup kesadaran bahawa akhirat itu ada. Kalangan manusia yang dulunya susah, lalu bangkit menjadi cukup kaya, kadang menjadi galau.
Terkadang meragukan eksistensi akhirat. Gampang sekali melihat orang seperti ini. Lihatlah pernyataannya. Secara psikologis, manusia yang mencla-mencle, tidak konsisten, cenderung tidak bisa dipegang omongannya.
"Loh kenapa dia masih saja merecoki pilihan rakyat DKI?" tanyanya lebih lanjut.
"Amien Rais lebih suka dengan orang yang mirip dirinya! Status quo, tua, galau, rasis! Memilih orang lain sebenarnya menegaskan siapa diri kita! Amien Rais ya kelasnya kelas Foke, Hidayat Nur Wahid, Rhoma Irama, MUI DKI, Marzuki Alie. Barisan sakit hati!"
"Iya. Harusnya kalau sudah kalah tidak usah menggiggau dan menggugat. Ngaku kalah secara legowo lebih dihargai. Omongan kamu ya harimau kamu. Amien Rais harusnya ingat itu!"
"Makin kelihatan post-power syndrome Amien Rais!"
Diskusi berhenti, aku menggandeng kekasihku turun dari mobil. Kami menyeberang dengan boat ke sebuah pulau. Malam itu kami menghabiskan waktu di Pulau Untung Jawa. Di bawah cahaya bulan purnama dan deburan ombak pantai Kepulauan Seribu kami memadu cinta. Aji mumpung masih muda menjadi senjata. Bagaimana lagi rasanya kalau sudah demikian tua seumur Amien Rais belum tentu aku bisa berlibur seperti ini. Mumpung masih muda dan ada waktu kami menikmati hidup yang indah.
Kata orang menikmati masa muda dengan wajar, bahagia dan sejahtera dan berpikir positif bisa menghindari post power syndrome seperti yang dialami Amien Rais. Soalnya jelas, bagi orang susah dan tak bahagia dan hanya ada kesempatan menikmati hidup ketika sudah tua, maka rasa sesal menggejala dan memeluk jiwa. Jiwa memerintahkan imajinasi seandainya; seandainya dulu, sandainya waktu bisa diputar...dst.
Nah, jiwa yang sakit itu akan iri dan dengki jika melihat orang lebih muda seperti Jokowi-Ahok berkuasa. Apalagi berkuasa di DKI Jakarta yang perputaran uangnya sangat besar. Amien Rais jelas iri dengki. Ini sejalan dengan cara berpikirnya yang sudah melenceng!
"Sayang, mari kita nikmati hidup agar kalau kita tua tak galau dan mengalami post power syndrome...." Ajakku pada kekasihku.
Kami berjalan menyusuri pantai dan berpelukan dengan bulan dan pantai, selain berpelukan erat dengan kekasihku. Urusan Amien Rais yang galau sudah dibuang ke laut....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H