"Papi, kan sudah tahu bahwa memakai mobil plat merah untuk berlebaran itu korupsi. Kok masih banyak yang memakainya ya?" tanya Monahara si jelita pada Sabung tukang sabung ayam ayahnya.
"Mana ada yang berani pakai mobil plat merah, Mona sayang.." sahut Sabung sambil memegang stir penuh konsentrasi di kemacetan jalanan di Banjar.
"Itu Papi di depan mobil kita. Juga ada dua mobil lagi di dua di depan kita," sahut Monahara yang rupanya membaca Kompasiana, jadi tahu isu-isu up-to-date.
"Kalau begitu tanya Bang Dai bagaimana hukumnya. Papi telepon Bang Dai, nanti dengan blue tooth kita masukkan ke sistem tata suara mobil kita ya," sahut Sabung.
Wa'alalaikum salam. Para pengendara mobil berplat merah adalah pejabat yang jelas korupsi. Dua hal yang dia korupsi. Pertama mobil berplat merah untuk bekerja saja. Bukan untuk keperluan bermudik ria.
Mudik ke kampung halaman pamer dengan mobil plat merah sungguh tidak bijaksana. Bukan alasan bensinnya membeli sendiri. Bukan itu masalahnya. Namun fungsi mobil sudah disalahgunakan untuk keperluan pribadi itu yang tidak benar.
Para pejabat bermobil plat merah sungguh para koruptor. Jika dia pinjam mobil berplat merah atau mendapat izin atasannya, maka itu tetap kategori dosa.
Jadi pendeknya siapapun yang pergi ke luar kota bukan untuk bekerja, namun untuk berhari raya dengan keluarga itu tetap korupsi namanya.
Ciri-ciri mobil berplat yang dikendarai koruptor adalah di dalamnya ada anak-istri dan sanak keluarga. Selain itu jangan su'udhon bisa jadi mereka sedang pergi menjalankan tugas ke luar kota. Yang jelas para pengendara mobil plat merah untuk mudik dengan keluarga pasti koruptor. Namanya koruptor menyalahgunakan fasilitas negara.
"Kalau yang memakai presiden atau menteri?" tanya Monahara dengan speaker aktifnya.
Hukum agama dan negara tidak membedakan presiden dan menterinya dengan rakyat jelata. Namun yang sering membedakannya adalah mafia hukum di kepolisian, kejaksaan dan pengadilan di Indonesia.
"Jadi begitu jawabannya Monahara. Monahara tetap istiqomah mengenakan jilbab kan sayang?" tanya Dai dengan kasih sayang seorang mubaligh.
"Masih Bang Ustadz Dai....Akan selalu mengenakan jilbab. Biar kaffah Islam Monahara!" sahut Monahara.
Sabung meneteskan air mata mendengar jawaban anak remajanya yang mulai belajar mengenal agama.
"Ya kamu kan cantik jelita. Nanti saya kenalkan Bang Rhoma Irama," canda Dai.
"Ogah ah. Saya tak mau belajar dari orang hobby SARA macam Rhoma Irama, Insyaallah!" sahut Monahara yang membuat kami semua lega.
"Ternyata para remaja saja tahu Rhoma Irama ceramahnya berbau SARA!" timpalku yang duduk paling belakang.
Sementara mobil merayap pelan terus menuju ke arah timur menuju Dieng Plateau.
Salam bahagia ala saya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H