Nah, yang menarik, dikenai atau tidak dikenainya sanksi untuk Sarpin menjadi indikasi kekuatan Jokowi. Itu yang perlu dilihat. Kemenangan Sarpin dan gerombolannya, tidak serta-merta merontokkan KPK. Bahkan arah KPK menjadi lebih jelas sesuai dengan keinginan Tedjo dan Jokowi: mengetahui peta kekuatan politik-hukum yang lebih jelas.
Maka Jokowi pun untuk keperluan pemetaan tak perlu menunjuk pimpinan KPK yang kredibel. Rugi besar di tengah kekuatan Polri - dengan Buwas-nya - menunjuk pimpinan KPK yang bagus dan kuat. Ruki dan Senoadji sudah lebih dari cukup untuk menjadi bola ping-pong hujatan karena siapa pun yang bercokol di pimpinan KPK saat ini akan diserang oleh Polri dan para koruptor.
Bahkan Johan Budi pun menyebutkan bahwa tak satu pun rekomendasi KPK diakomodir oleh Presiden Jokowi. Publik tak paham satu hal: pemetaan kekuatan koruptor dan kekuatan politik yang harus diatasi.
Dengan menunjuk Plt pimpinan KPK orang sembarangan seperti Senoadji dan Ruki, tujuan Presiden Jokowi tercapai. Pekan ini Jokowi akan mengeluarkan peraturan semacam instruksi presiden terkait KPK dan peran lembaga penegakan hukum. Intinya, di situlah penyelesaian kompromistis terjadi. Setelah Ruki dan Senoadji disingkirkan, akan lahir KPK versi Presiden Jokowi. Di sinilah Mega mendapatkan jaminan. Tujuan pelaksanaan politik-hukum dan hukum-politik kembali ke rel-nya.
Budi Gunawan dan Budi Waseso kembali ke kesehariannya. Tujuan penguatan diri gagal. KPK tetap didukung elemen masyarakat dan media. Ketika calon KPK yang baru telah terpilih, maka yang terjadi adalah kompetisi perebutan kasus korupsi antara kejaksaan dan polri, berpacu dengan KPK.
Contoh indikasi itu adalah kejaksaan dan Polri cepat menangani berbagai kasus seperti UPS di DKI. (Posisi Lulung di mata Polri tidak perlu dibela - meskipun dia pelapor. Lulung dan M. Taufik tidak memiliki nilai strategis untuk kepentingan Polri. Polri akan obyektif menangani kasus ini karena indikasi keterlibatan para sebagian anggota DPRD DKI Jakarta sangat kuat. Ini dibuktikan dengan kemarahan anggota DPRD DKI dalam mediasi kemarin (5/3/2015).)
Tentang kisruh DPRD DKI Jakarta dan Ahok pun sebenarnya menyasar ke Presiden Jokowi. Fakta anggaran APBD 2012-2014 yang dilaporkan, jika kekuatan Presiden Jokowi lemah, kriminalisasi akan dilakukan melalui pintu itu. Namun, perhitungan kompromi politik dan hukum - dengan memetieskan kasus Budi Gunawan dikembalikan ke Polri setelah gelar perkara - akan membuat Presiden Jokowi aman dari upaya kriminalisasi.
Sebenarnya, Ahok sedang dijadikan sasaran kriminalisasi dengan indikasi pernyataan Lulung dan M. Taufik. Namun mereka lupa, Polri tidak memiliki kepentingan sama sekali dengan kedua orang tersebut. Jadi, Polri akan bertindak tidak seperti ketika menangani Bambang dan Abraham Samad yang merupakan perang frontal. Pun, Polri sadar akan terpuruk di mata publik jika meladeni dan melayani Lulung dan M. Taufik serta DPRD DKI Jakarta. Kenapa dan di mana kekuatan presiden Jokowi?
Kekuatan pendukung Presiden Jokowi saat ini adalah (1) TNI dan BIN serta media masih berpihak kepada Presiden Jokowi, dan (2) rontoknya PPP dan Golkar yang membuyarkan Koalisi Prabowo tinggal kenangan, (3) Kejaksaan Agung dan KPK versi Presiden Jokowi (hasil pansel) dipastikan akan mengamankan kepentingan para partai termasuk Megawati, (4) melemahnya hiruk-pikuk setelah ‘penyeimbangan kekuatan dan kepentingan Polri, KPK, dan Presiden Jokowi' - di tengah pantauan dukungan TNI dan BIN kepada Presiden Jokowi.
Maka, kisruh KPK versus Polri dan belakangan DPRD versus Ahok memaksa Presiden Jokowi menjadikan langkah penunjukan Budi Gunawan dan Ruki serta Senoadji hanya sebagai pemetaan kekuatan politik. Dukungan TNI dan BIN serta media membuat PPP dan Golkar Agung Laksono - yang mendukung Presiden Jokowi dan keluar dari koalisi Prabowo - mengubah keterburuan Mega dan Jokowi terkait Budi dan Budi serta Ruki dan Senoadji hanya sebagai alat strategi pemetaan kekuatan.
Kini kekuatan itu sudah terpetakan. Budi Gunawan dan Budi Waseso kembali ke kepolisian. KPK versi Jokowi akan terbentuk yang menguntungkan Mega - sekaligus merugikan SBY nanti, maka SBY dag dig dug kesepian, apalagi Golkar jelas keluar dari koalisi Prabowo. Kejaksaan dan Mahkamah Agung praktis dalam genggaman Presiden Jokowi. Polri pun nyenyak dalam pelukan Jokowi. Semua itu terjadi karena TNI dan BIN 100% di belakang Presiden Jokowi.