Mohon tunggu...
Ninoy N Karundeng
Ninoy N Karundeng Mohon Tunggu... Operator - Seorang penulis yang menulis untuk kehidupan manusia yang lebih baik.

Wakil Presiden Penyair Indonesia. Filsuf penemu konsep "I am the mother of words - Saya Induk Kata-kata". Membantu memahami kehidupan dengan sederhana untuk kebahagian manusia ...

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Survei Parpol: Demokrat dan Hanura 3 Besar, Saatnya Menertawai Survei Parpol

14 Maret 2014   16:07 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:57 808
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ya. Demokrat dan Hanura 3 besar. Kok bisa? Setelah Partai Demokrat menyebut dirinya akan menjadi partai tiga besar dengan perolehan 14,5% berdasarkan survei - yang dipesan sendiri oleh Demokrat, kini Hanura tak mau ketinggalan. Hanura berdasarkan survei berada di posisi 3 besar dengan torehan 11,3 %. Posisi pertama masih PDIP yang 21,8% dan Golkar dengan 18,1%. Lalu Gerindra di urutan ke 4, dan Demokrat terperosok ke urutan kelima dengan 6,7%. Kok bisa padahal survei Demokrat dan Hanura hanya berselang kurang dari sepekan rilis hasil survei Demokrat. Apakah memang dinamika politik bergerak cepat atau ada yang salah dengan para lembaga survei?

Faktanya adalah sebagian besar survei dibuat dan dipesan oleh partai politik untuk pencitraan. Bagaimana mungkin hasil survei pesanan Demokrat berbeda jauh dengan survei yang dilakukan oleh lembaga survei independen. Posisi Demokrat ketika menyebut 3 besar, di belakang PDIP dan Golkar sudah benar, namun menggeser Hanura, Gerindra ke posisi di bawah Demokrat dengan rentang persentase melebihi 6 persen - artinya di luar margin of error - adalah hal yang konyol.

Hal yang sama dilakukan oleh Hanura yang ingin menggeser Gerindra yang kebetulan ada di posisi ke-4. Selain Hanura Gerindra yang selalu ingin berada di posisi ke-4, tapi setelah Demokrat - juga berdasarkan survei pesanan Gerindra - melakukan survei dengan hasil bertengger di 3 besar. Wah.

Bagaimana dengan partai-partai lain? Perhatikan bahwa PPP, PKB, PAN, dan PKS meskipun selalu buruk dalam survei independen, namun kenyataannya dalam dua kali pemilu 2004 dan 2009 tetap meraup suara di atas 5%. Kenapa? Karena survei tampaknya tak menjangkau wilayah pedesaan dan kampung-kampung kumuh yang menjadi basis para partai Islam tersebut. Maka tak mengherankan jika para partai tersebut selalu mendapatkan angka elektabilitas survey di bawah 5%.

Survei terakhir pesanan Hanura menyebut hanya PKB yang meraup 5,7%, partai agama PKS 3,7%, PPP 3,5%, PAN 3,3 %, NasDem 3,1%, PBB 1,1% dan PKPI 0,3%. Survei terkait para partai Islam selalu menghasilkan angka kecil. Kenapa? Para partai ini berada dalam alam bawah sadar. Para pemilih masing-masing partai berbasis Islam adalah para kader dan pasukan taklid dan militan yang membabi buta dalam mendukung partai. Mereka tak memercayai media dan hanya percaya kepada para pemimpin partai yang selalu menakut-nakuti soal surga-neraka kepada para kader mereka. Itulah sebabnya PPP, PKB, PAN, PKS selalu mendapatkan suara dari kalangan taklidun yang tak melek politik.

Dengan demikian maka menjadi hal yang aneh ketika melihat hasil survei para partai yang dipesan sendiri oleh masing-masing partai. Mereka berebut memiliki elektabilitas tertinggi. Ingat kasus pada tahun 1999, ketika Golkar dinyatakan akan tamat riwayatnya oleh Amien Rais, juga berdasarkan survei. Nyatanya Golkar tetap masuk 3 besar. Bahkan PAN yang diyakini akan menang ternyata hanya meraup kurang dari 9%.

Survei menjadi kehilangan kredibilitasnya, dan survei hanya menjadi barang dagangan untuk kepentingan pencitraan dan keluar dari nilai ilmiah dan keilmuan yang dapat dipertanggungjawabkan. Rakyat tidak buta-buta amat soal partai atau calon presiden. Para partai yang berebut di tempat teratas hanya pengin menunjukkan kepada publik bahwa partai mereka disukai dan dipilih oleh rakyat. Maka hasil survei apapun menjadi kehilangan legitimasinya dan pantas menjadi hanya bahan tertawaan orang waras.

Salam bahagia ala saya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun