Posisi tenaga kerja di Arab Saudi khususnya para pekerja domestik berada pada posisi standard ganda - budak menurut kepentingan para majikan Arab, namun pekerja jika menyangkut kepentingan seperti pembayaran diyat: diyat tak berlaku bagi budak atau orang yang tak mampu membayar. Ini pun tampaknya tak dipahami oleh baik para TKW, dan juga para diplomat Indonesia. Akibatnya, sejak belajar dari kasus Darsem yang pemerintah membayar diyat - yang seharusnya dibayar oleh pelaku pembunuhan dan bukan oleh pemerintah, Satinah dimanfaatkan oleh keluarga al Gharib untuk mendapatkan diyat yang nilainya fantastis: Rp 21 miliar!
Jadi kasus Satinah adalah kasus yang melibatkan (1) kesalahan persepsi tentang budaya Arab, (2) tentang diyat yang salah kaprah, (3) tentang budaya Arab dan standard ganda para majikan dalam memandang TKW sebagai budak, dan (4) para diplomat Indonesia yang gagal dalam berdiplomasi dan berakibat dalam posisi tertekan. Padahal jika keempat hal tersebut dipahami dengan jernih oleh para diplomat Indonesia, aneka kasus perburuhan dan TKI dapat diselesaikan lebih baik dan kasus Satinah dan Satinah yang lain akan tak akan begitu runyam. Penundaan pemancungan 2 tahun terhadap Satinah - yang masih ded degan menghitung hari sampai dua tahun untuk dieksekusi dan bisa jadi malah meninggal di penjara, sementara uang Rp 12 miliar sudah diterima oleh keluarga al Gharib - adalah bukti kekalahan diplomasi pemerintah Indonesia.
Salam bahagia ala saya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H