Mohon tunggu...
Ninoy N Karundeng
Ninoy N Karundeng Mohon Tunggu... Operator - Seorang penulis yang menulis untuk kehidupan manusia yang lebih baik.

Wakil Presiden Penyair Indonesia. Filsuf penemu konsep "I am the mother of words - Saya Induk Kata-kata". Membantu memahami kehidupan dengan sederhana untuk kebahagian manusia ...

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Penyebab SBY, Prabowo, dan Ical Gagal Bentuk Koalisi Besar

11 Mei 2014   05:56 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:38 534
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dinamika politik menghempaskan SBY dan Demokrat dan Gerindra serta Golkar. Langkah lambat Demokrat, Golkar dan Gerindra - yang sebelumnya dinilai taktis dan strategis - ternyata hanya menghasilkan kegagalan membangun koalisi bagi mereka. Bahkan bagi Gerindra - sikap lambat berkoalisi - hanya menghasilkan politik dagang sapi dan politik transaksional. Cara koalisi menunggu ala Golkar sampai detik ini tak menghasilkan koalisi yang real selain wacana, juga menghasilkan kegagalan.

Ide koalisi besar yang digadang meliputi banyak partai baik oleh Golkar, Demokrat dan Gerindra tak menghasilkan koalisi dan bahkan memakan korban setiap partai. Intinya koalisi kosong yang ditawarkan kepada para partai menjadi penyebab tak terbentuknya koalisi. Maka peta koalisi pun berubah dan mengarah pada persebaran koalisi yang jauh dari koalisi besar.

Koalisi yang terbentuk yakni Gerindra-PKS-PAN merupakan koalisi minimalis yang sebelumnya berkomitmen untuk mendorong koalisi besar-besaran. Kegagalan SBY dan Demokrat serta Gerindra mengusung koalisi besar disebabkan oleh faktor politis dan pribadi politikus antar partai. Apa faktor utama kegagalan SBY, Golkar dan Gerindra mengusung koalisi besar tersebut?

Pertama, langkah cepat Jokowi menggandeng NasDem dianggap sebagai tindakan grusa-grusu. Padahal langkah Jokowi dan PDIP untuk segera menentukan koalisi adalah untuk menjaga dinamika internal partai dan pendukung Jokowi agar mendapatkan kepastian calon mereka mengantongi boarding pass untuk pencapresan. Dengan bergabungnya NasDem kepastian pencapresan Jokowi 100%. Kondisi ini didukung oleh dukungan PKB ke Jokowi - yang mendekati para kiai di Jawa sebagai komponen penting warga dan pemilih NU.

Kedua, Demokrat terlalu lambat dan mengulur-ulur waktu dan terjebak sebagai partai penentu. Bahkan sampai saat terakhir Demokrat hanya mengajak, sekali lagi, hanya mengajak dan menghimbau kepada para partai untuk membentuk Satgas Koalisi Jilid II tanpa upaya konkrit menentukan capres dan cawapres yang layak dijual. Sementara secara jelas Gerindra memiliki Prabowo dan PDIP memiliki Jokowi dan Golkar - meskipun tidak popular memiliki Aburizal Bakrie.

Demokrat sampai detik ini belum mendapatkan mitra koalisi. Hanya ada tiga opsi: Bergabung dengan Gerindra atau Golkar, atau membentuk poros sendiri. Untuk membentuk poros sendiri tidak mungkin lagi. Salah satu opsi adalah bergabung dengan Gerindra. Bergabung dengan Gerindra akan merusak kondisi nyaman PAN dan PKS. Opsi terakhir bergabung dengan Golkar sebagai pelarian keputusasaan tanpa teman. Sampai detik ini Demokrat tetap kesepian.

Ketiga, jualan dan ajakan koalisi kosong ala Bakrie. Bakrie dan Golkar serta Gerindra mewacanakan koalisi besar Demokrat, Golkar, Gerindra, PKS, PAN, dan PPP yang ternyata tak terbentuk. Sekali lagi, koalisi besar itu hanya wacana tanpa adanya upaya konkrit antar partai melakukan pendekatan. Hasilnya? Golkar tetap kesepian.

Keempat, Gerindra merasa sangat percaya diri akan elektabilitas Prabowo dan merasa sudah menang sebelum pileg. Elektabilitas Prabowo dijual ke semua partai. Partai yang kuat secara idiologis dan memiliki akar ke rakyat seperti Golkar, PKB, dan bahkan PPP gamang menerima ‘utopia elektabilitas' sebagai modal utama pencapresan Prabowo.

Padahal Prabowo elektabilitasnya di bawah Jokowi. Maka, hanya partai yang merasa kepepet alias terpaksa berkoalisi seperti PKS dan PAN yang kebelet berkuasa - dengan menafikan Demokrat dan Golkar serta ditolak oleh Jokowi terkait bagi-bagi kursi alias dagang sapi. Gerindra kehilangan dukungan terkuat secara historis-kultural dari warga NU yang kuat di Jawa.

Jadi, langkah lambat Demokrat, Golkar dan Gerindra yang mengusung ‘koalisi kosong' - yang sebelumnya dinilai taktis dan strategis telah berubah menjadi prahara dan malapetaka bagi Demokrat, Golkar, dan Gerindra. Kegagalan Gerindra mendapatkan dukungan PKB adalah awal kekalahan bagi Prabowo, Ical dan siapapun capres dari koalisi mana pun.

Langkah Jokowi dan PDIP yang dianggap grusa-grusu tergesa-gesa oleh Gerindra dan Demokrat karena Jokowi mengunjungi para kiai Langitan dan membangun koalisi secara cepat ternyata lebih efektif membangun koalisi kokoh dengan real support dari akar rumput.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun