Mohon tunggu...
Ninoy N Karundeng
Ninoy N Karundeng Mohon Tunggu... Operator - Seorang penulis yang menulis untuk kehidupan manusia yang lebih baik.

Wakil Presiden Penyair Indonesia. Filsuf penemu konsep "I am the mother of words - Saya Induk Kata-kata". Membantu memahami kehidupan dengan sederhana untuk kebahagian manusia ...

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Demi Pilpres, Dilema Awak Televisi, Media dan KPI yang Mandul

1 Juni 2014   15:13 Diperbarui: 23 Juni 2015   21:51 1278
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi/Kompasiana (Kompas.com)

[caption id="" align="aligncenter" width="624" caption="Ilustrasi/Kompasiana (Kompas.com)"][/caption]

Demi kampanye pilpres, awak media, media, menjadi korban pemiliknya. Di sisi lain, KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) pun mandul karena kepentingan yang tak jelas. Lebih jauh, baru kali ini ditemukan keanehan akut dalam dunia penyiaran televisi - juga radio swasta - dan media massa online dan non-onlie. Para awak televisi, wartawan dan redaksi dengan terpaksa mengikuti alur arahan pemilik media televisi atau online. Hanya kelompok Gramedia, Kompas, KompasTV dan TVRI yang cukup indipenden dalam mewartakan berita. Lainnya memihak kalau bukan Prabowo ya Jokowi.

Yang paling aneh adalah bahwa para pemilik televisi, dan media yang pro capres tertentu, seperti menganggap para pemirsa dan pembaca serta pendengar adalah benda mati yang tak bisa berpikir. Teori komunikasi bahwa semakin digeber informasi - bahkan kampanye hitam, maka akan tertanam pesan. Yang dilupakan adalah bahwa manusia bisa mengalami kejenuhan. Juga bisa berpikir dan tidak bodoh. Pemirsa, pendengar dan pembaca, juga tak statis dan tak bodoh-bodoh amat.

Polarisasi dukungan MNC Group dan TVOne dengan MetroTV begitu kentara. Kedua kelompok itu menggeber berita yang sangat tak proporsional - bahkan berkampanye hitam. Yang pertama berlomba tak henti-hentinya memuji Prabowo-Hatta dengan menjelekkan Jokowi-Jusuf Kalla. Yang kedua juga menggeber kebaikan dan pujian kepada Jokowi-JK dengan menjelekkan Prabowo-Hatta. Yang terpikir justru betapa kasihannya derita dan dilema awak media. Perang batin terjadi. Dilema bergelayut. Idealisme jurnalistik mati seketika karena kepentingan kampanye pilpres.

Yang tampak sebagai contoh. Pagi hari. Di acara TVOne dan MetroTV, banyak materi berita yang dipaksakan. Perhatikan dengan seksama bahasa tubuh para hosts dan anchor berita televisi. Pambaca berita atau hosts alias news anchors dalam berita pagi tampak canggung menyampaikan materi berita. Tampak bahasa tubuh mereka canggung dan tak nyaman. Perhatikan mulut yang menganga sebentar. Lalu tatapan mata tak fokus dan nanar. Tak ketinggalan gerakan refleks tubuh kelihatan kaku. Bahkan alis kadang terangkat. Gerakan tangan tak natural dan tampak kaku, dan juga gerakan umum para hosts dan penyiar yang kehilangan fleksibilitasnya.

Bahasa tubuh para hosts tersebut sebenarnya tidak alami. Tidak natural. Bahasa tubuh yang sangat plastis. Kenapa? Penyebabnya adalah para anchors tersebut tertekan secara psikologi. Kasus terbukanya arahan dari redaksi (baca: kebijakan dan kepentingan pemilik televisi) untuk tidak menyebut Akil Mochtar sebagai kader Golkar oleh TVOne sebagai bukti. Itu salah satu contoh.

Sebenarnya para anchors adalah para individu yang cerdas, berwawasan luas, idealis, dan berkepribadian. Namun, karena kebijakan para pemilik televisi, maka mereka menjadi hanya sekedar buruh media. Para awak media televisi, media online, bahkan media cetak secara kasar diarahkan oleh para pemilik media untuk melakukan kampanye sesuai keinginan pemilik stasiun televisi, media massa cetak, media online dan bahkan blog.

Kecerdasan, idealisme jurnalisme yang menjadi roh mereka dibonsai, dibunuh, dibinasakan, dengan arahan hanya untuk keperluan kampanye. Hak publik untuk mendapatkan kebenaran dan informasi seimbang dirampas - persis seperti hak jurnalisme awak media termasuk wartawan dan anchors yang dirampas oleh pemilik media. Akibatnya, para awak media hanyalah menjadi buruh kasar. Hanya menjadi karyawan yang kehilangan idealisme. Kondisi seperti ini tidak mendidik kebebasan pers yang seimbang.

Akibat dari kebijakan pemilik media seperti ini, maka publik pun langsung terpecah dalam mengikuti berita dari berbagai media massa. Pemirsa atau pembaca terpecah. Pendukung Prabowo-Hatta hanya senang menonton TVOne dan MNC Group karena berita dominan ‘memasarkan' Prabowo-Hatta. Demikian pula, penonton yang mendukung Jokowi-Jusuf Kalla hanya akan senang menonton MetroTV karena di situlah berita bagus tentang Jokowi-JK banyak muncul. Televisi - bahkan radio pun ikut-ikutan - menjadi media ‘satu arah dan satu mata kuda' dengan hanya satu point of view tanpa melihat dari berbagai arah agar obyektivitas terjaga.

Dalam hal media massa, rasanya, kesannya akan sama. Koran Sindo membatasi berita kebaikan Jokowi-JK. Demikian pula Media Indonesia mengurangi berita kelebihan Prabowo-Hatta. Akibat dari polarisasi pemberitaan ini adalah pembaca kehilangan hak mendapatkan informasi seimbang dari kedua media itu - sama dengan media televisi yang telah kehilangan obyektivitasnya.

Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) pun tidak memiliki kemauan untuk menegur media televisi dan radio yang tak menyiarkan berita secara berimbang. KPI tak berkutik di depan kekuasaan media Harry Tanoesudibjo, Aburizal Bakrie dan Suryo Paloh. Kenapa? Uang uang uang uang berbicara. Obyektivitas dan independensi media massa diterabas dan hanya menjadi corong kepentingan penguasa dan pemilik uang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun