Kondisi ini menyebabkan dampak lain di masyarakat yakni publik apatis dengan semua kampanye baik hitam maupun negatif, maupun putih. Peran semua media massa (online, koran, televisi, radio) yang terpecah dan tak obyektif memberitakan Prabowo dan Jokowi menyebabkan masyarakat pemilih apatis terhadap semua pemberitaan. Artinya rakyat dirugikan karena tak memiliki media yang memberikan pencerahan. Media yang terpecah menyebabkan pemilihan presiden tak maksimal memilih calon terbaik dari dua orang buruk – seperti digambarkan oleh kampanye hitam.
Kondisi ini ditangkap oleh masyarakat yang mulai jengah dan sebel dengan media yang terpecah. Rakyat kembali kepada posisi status quo – karena sangat bingung dengan aneka materi kampanye kedua capres. Posisi status quo ini terbukti dan terlihat terkait elektabilitas Prabowo yang meningkat namun tetap tak bisa melewati Jokowi. Menyadari hal ini, kampanye hitam semakin digelorakan, hasilnya tetap Jokowi tak terkejar. Kenapa?
Karena prasyarat untuk berhasilnya kampanye hitam adalah ‘memiliki ratusan materi kampanye sekaligus ratusan penangkalnya’. Jika syarat melakukan kampanye hitam ini tak dipenuhi, apalagi terdapat perlawanan yang tak diantisipasi sebelumnya, bisa-bisa kampanye hitam akan memukul balik penyebarnya. Tak heran kini masing-masing kubu ‘akan memohon kepada rakyat agar menjadi yang terdzolimi’. Namun rakyat tidaklah bodoh dan akan menghukum inisiator kampanye negative dan kampanye hitam. Siapa capres yang menabur angina, capres itu akan menuai badai.
Dan badai itu akan ditiupkan oleh rakyat dengan tidak memilih penyebar kampanye hitam yang dipersepsikan oleh rakyat. Capres yang dipersepsikan didzolimi entah itu Prabowo atau Jokowi dipastikan akan menang. Siapakah yang akan menuai badai, Prabowo atau Jokowi. Kita tunggu tanggal 9 Juli jam 14:00 WIB.
Salam bahagia ala saya.