Mohon tunggu...
Ninoy N Karundeng
Ninoy N Karundeng Mohon Tunggu... Operator - Seorang penulis yang menulis untuk kehidupan manusia yang lebih baik.

Wakil Presiden Penyair Indonesia. Filsuf penemu konsep "I am the mother of words - Saya Induk Kata-kata". Membantu memahami kehidupan dengan sederhana untuk kebahagian manusia ...

Selanjutnya

Tutup

Olahraga Pilihan

Kesamaan Jerman dan Argentina-Brasil antara Jokowi dan Prabowo

14 Juli 2014   15:25 Diperbarui: 18 Juni 2015   06:22 710
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jerman Juara Dunia 2014 mengalahkan Timnas Argentina (Amerika Latin). Menarik mengamati sepakbola sekelas Piala Dunia di Brasil dengan Pilpres 2014. Event yang berlangsung bersamaan itu menghasilkan sesuatu yang parallel. Bagaimana sepakbola selalu mengajarkan kehidupan bagi banyak orang. Sepakbola juga memberi pelajaran untuk pilpres. Mari kita simak dengan semangat fair-play dan gentlemen dari pelajaran kemenangan Jerman bagi Jokowi dan Prabowo.

Timnas Jerman bisa disamakan dengan Jokowi dan Brasil diidentikkan dengan Prabowo. Pelatih Jerman pun identik dengan Ketua Timses Jokowi yakni Tjahjo Kumolo yang low-profile. Sementara Ketua Timses Prabowo adalah Mahfud MD yang high-profile.

Jerman adalah tim sepakbola paling cerdas. Mereka menggabungkan semangat regenerasi yang dimulai oleh Juergen Klinsmann sejak Piala Dunia 2006. Jerman membangun timnas dengan anak-anak muda berbakat yang digabungkan dengan tenaga baru. Klose, Oezil, Mueller, Lahm dan seabrek pemain senior digabungkan dengan para pemain muda semacam Goetze yang menjadi pahlawan.

Timnas Jerman mengandalkan teknologi pembinaan sepakbola: ilmu gizi dan ilmu faal tubuh benar-benar dimanfaatkan oleh Timnas Jerman. Teknik berlari, mengontrol tenaga, bertahan dan melakukan serangan demikian efisien sehingga menghasilkan efektivitas energi yang menakutkan. Sejak menghantam Spanyol 5-1, tampak kekuatan Jerman tak terbendung.

Dengan konsistensinya dalam taktik, dalam mengadu strategi memenangi perebutan bola, bahkan Jerman membenamkan favorit tuan rumah Brasil dengan skor yang mencengangkan: 7-1. Itu semua bukan kebetulan tetapi berdasarkan tindakan sadar dengan strategi, teknik, cara, kiat, upaya yang ilmiah dan dapat dipertanggungjawabkan.

Lolos babak final, Jerman pun dibebani oleh mitos dan aneka persyaratan agar mampu membongkar mitos yakni: menjadi negera Eropa pertama yang memenangi Piala Dunia di Amerika Latin. Mitos yang sudah lahir sejak 1930 itu berupaya dipecahkan oleh Jerman. Maka Jerman menghadapi pertandingan dengan sangat berhati-hati. Koordinasi antar lini pun kurang sempurna dibandingkan ketika Jerman melumat Spanyol atau Brasil. Kenapa? Jerman berkonsentrasi tinggi agar mampu melawan mitos.

Sementara Argentina yang menjadi wakil Amerika Latin, termasuk Brasil, tak kalah mendapatkan tekanan ketika harus memertahankan mitos bahwa Eropa tak boleh memecahkan mitos memenangi Piala Dunia di Benua Amerika. Tekanan itu membebani Timnas Argentina yang menyebabkan Argentina tak juga mampu mengembangkan permainan seperti yang semestinya. Lionel Messi yang sangat dibebani menjadi kartu mati karena di pundak Messi-lah semua kekuatan berada. Messi menjadi target karena fakta menunjukkan Messi tiga kali menjadi pahlawan di babak penyisihan termasuk ketika menyingkirkan Belgia di perempat final.

Jokowi mirip dengan Timnas Jerman yang matang. Sistem kampanye, arah kampanye, strategi kampanye mengandalkan ilmu dasar komunikasi politik konvensional (senior di Timnas Jerman) dengan inovasi media sosial (para pemain muda). Timses Jokowi menerapkan strategi kampanye yang mengatur ritme (alur serangan) selama satu bulan menjadi dua babak (babak membiarkan Prabowo menyerang habis-habisan) dan babak kedua (ketika serangan balik kampanye seminggu sebelum pilpres membalikkan dan menghentikan trend elektabilitas Prabowo dan elektabilitas Jokowi mengalami rebound).

Prabowo mirip Timnas Brasil yang hanya mengandalkan inovasi media sosial (pemain muda Neymar) dengan menyampingkan ilmu komunikasi politik dasar (peran para pemain senior). Mengandalkan serangan frontal sejak menit awal - meski telah kebobolan pada menit ke-11 ketika melawan Jerman - menunjukkan kesamaan Prabowo yang melakukan kampanye menyerang, lupa atau abai meski telah diingatkan untuk tidak mengembangkan kampanye negative bahkan hitam.

Namun euphoria merasa di atas angin - Brasil menganngap diri sebagai tuan rumah dan percaya diri tinggi - sama dengan euphoria Prabowo yang gegap-gempita di media sosial. Tak disangka, sama dengan Brasil, Neymar adalah kekuatan sekaligus kelemahan. Tak diduga, media massa dan media sosial yang tampak sebagai kekuatan, sekaligus menghantam Timses Prabowo.

Tiga minggu massa awal kampanye, Prabowo di atas angin di media sosial. Namun, lima hari sebelum 9 Juli 2014, setelah kehilangan keunggulan di debat terakhir (sama dengan hilangnya Neymar) mulailah keunggulan itu berbalik. Terlebih lagi twitteran Sherina, Gita Gutawa, Afghan dan para artis dan selibritas bahkan sampai Sting yang memiliki pengikut akun sampai lebih dari 6 juta memberi dampak luar biasa bagi Jokowi. Terakhir Konser Dua Jari menjadi simbol kampanye atas nama rakyat. Juga berbagai hashtag #terkaitJokowi menjadi hiasan di twitter yang sebelumnya dikuasai oleh Prabowo.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun