Banyak pihak menanyakan sebab utama kekalahan Prabowo-Hatta kepada saya. Dari berbagai penyebab kekalahan Prabowo, satu hal yang paling penting dan utama: media massa yakni koran, online dan televisi. Prabowo dengan Gerindra-nya menyadari sepenuhnya kekuatan media sejak 5 tahun lalu, namun dengan media pula kekalahan Prabowo diperoleh. Bagaimana media bisa menghancurkan peluang Prabowo memenangi kursi Presiden RI itu bisa terjadi?
Sejak sebelum Pilpres, ketika masih belum kampanye pileg, bahkan sejak lima tahun lalu, Prabowo dan Gerindra menyadari betul kekuatan media. Kampanye di televisi selama bertahun-tahun membuahkan hasil di pileg 2014, dengan raihan 11,83% suara kursi DPR. Elektabilitas Prabowo yang meningkat pesat selama 5 bulan terakhir sejak Februari 2014 menyebabkan Prabowo laris manis didukung oleh 7 parpol besar dengan 58% kursi DPR.
Prabowo telah lama melakukan persiapan kampanye termasuk persiapan materi kampanye yang dikomandani Noudhy Valdryno di media massa dengan memanfaatkan media sosial yang diyakini sangat kuat, powerful, memengaruhi publik: media sosial seperti Facebook, Twitter, Tumblr, Kompasiana dan sebagainya. Persiapan rapi itu mula pertama dilakukan dengan melakukan ‘testing the water' dengan menciptakan puisi ‘Boneka' karya Fadli Zon. Itu awal kampanye menyindir dan menghujat keburukan; anehnya kampanye model itu menggairahkan anak-anak muda. Elektabililtas Prabowo meroket.
Keadaan ini menimbulkan euphoria di kubu Timses Prabowo-Hatta, khususnya Tim Media Sosial, pimpinan Niudhy Valdryno dan Fadli Zon. Euforia ini semakin meyakinkan ketika para pengamat politik ‘mengapreasiasi' kampanye hitam yang dikatakan menguntungkan bagi kubu Prabowo dan merugikan bagi Jokowi-JK.
Perkembangan ini ditangkap sebagai strategi kampanye jitu - bahkan kalangan Istana Negara pun ikut bermain dan mendukung Obor Rakyat. Maka lahirlah puisi "Raisopopo' lagi-lagi karya Fadli Zon. Maka Boneka Raisopopo - meskipun dijawab ‘Rapopo' - menjadi cara efektif menurunkan elektabilitas Jokowi.
Perkembangan kampanye Prabowo menjadi pihak yang agresif menyerang, sementara Jokowi-JK kelabakan menangkal berbagai serangan dengan berharap publik akan berbalik simpati. April-pekan akhir Juni 2014 merupakan golden time bagi kesuksesan Prabowo dalam hal elektabilitas yang mampu merapatkan gap elektabiliatas menjadi hanya 5 persen.
Lagi-lagi media dan para pengamat memberikan apresiasi bahwa Prabowo akan memenangi kursi Presiden. Euforia itu semakin ditambah dengan media yang memberitakan Prabowo menjadi Panglima Umat Islam, Prabowo menggandeng FPI, Prabowo didukung Hizbut Tahrir dan Majelis Mujahidin Indonesia, selain Aburizal Bakrie, Mahfud MD, Suryadharma Ali dan Ahmad Dhani. Berita-berita tentang dukungan FPI, Ical, SDA, dan Ahmad Dhani yang berpakaian ala tentara Nazi yang fasis tidak dianggap sebagai hal negative. Timses Prabowo-Hatta tetap percaya diri dengan cara kampanye yang dianggap telah memenangkan hati rakyat: kampanye negative dan bahkan hitam.
Tak disangka, euphoria kubu Koalisi Partai Gemuk, semakin tak terkendali. Dukungan parpol yang besar dan gelombang kenaikan elektabilitas yang spektakuler, 13% pada akhir 2013 menjadi 35% pada akhir Juni 2014 adalah hal yang spektakuler.
Maka mulai dari Ketua Timses Mahfud MD, khususnya Fadli Zon, tak lupa semua anggota koalisi merasa puas dan memastikan diri akan memenangi pilpres berdasarkan: trend elektabilitas yang meningkat dan kecenderungan Jokowi yang stagnan dan turun. Maka dengan pendapat itu, Timses Prabowo kehilangan kehati-hatian mulai dari menganggap enteng kemampuan pidato Jokowi dalam debat sampai produksi materi kampanye media sosial hitam semakin marak.
Keadaan euphoria ini masih ditambah oleh kemenangan media massa televisi TVOne, MNC Group, dan juga Koran Sindo, Vivanews.com, Sindo Radio, Detik.com serta berbagai media sosial lain. Namun, euphoria ini mendapatkan perimbangan dari MetroTV. Akibatnya, polarisasi media yang mengakibatkan pendukung terpecah dan sulit memengaruhi pilihan. Hanya kalangan yang melek media sosial dan IT - yang jumlahnya sekisaran 70 juta pengguna yang akan menjadi penentu kemenangan: ya, swing voters. Sampai di titik ini, kemenangan Prabowo masih sangat besar.
Dan, lagi-lagi pengamat politik masih saja memberikan pendapat bahwa kammpanye hitam lebih banyak menguntungkan bagi Prabowo-Hatta. Akibatnya kampanye hitam menjadi trend dan pada akhirnya perlawanan kampanye hitam pun dilancarkan untuk menghentikan kampanye hitam - tidak tahu sumber mana yang menyebarkan. Hasilnya luar biasa. Sepekan sebelum Pilpres 9 Juli 2014, elektabilitas Prabowo-Hatta tertahan dan elektabilitas Jokowi-JK rebound dan kembali naik.