Pasca kekalahan pilpres Koalisi Merah Putih Prabowo-Hatta gegap gempita menunjukkan kekuatan. Dari mulai Quick Count sampai pengumuman hasil resmi Real Count KPU, seluruh institusi negara (SBY, TNI, dan Polri) digambarkan sebagai di bawah kekuatan dan kekuasaan Prabowo-Hatta. Asumsi dasarnya adalah koalisi yang melebihi 50% di parlemen. Setelah KPU mengumumkan Jokowi-JK sebagai pemenang, nampaknya strategi baru diterapkan yakni strategi politik Puputan atau barji-barbeh alias bubar satu bubar semua - tak dapat satu tak dapat semua. Bagaimana gambarannya dan apa faktor penyebab diterapkan ya strategi Puputan alias barji barbeh itu?
Penciptaan kesan menang, menentukan, berkuasa, terhadap Prabowo (sampai tanggal 22 Juli 2014) diwujudkan dengan membentuk koalisi permanen sebelum KPU menetapkan hasil. Tujuannya jelas untuk menekan secara politis ke SBY sebagai presiden dan pengawal penyelenggaraan pemilu presiden 2014. Sejak kalah lewat versi QQ, Prabowo melakukan upaya politisasi hasil pilpres dengan dibarengi aneka kampanye pasca kampanye: intinya sebagai pemenang - mendahului hasil perhitungan KPU dan bahkan pasca pengumuman.
Saat ini, melalui berbagai media, baik Prabowo maupun TImsesnya melakukan politisasi hasil pilpres sejak KPU (Komisi Pemilihan Umum) menetapkan kemenangan Jokowi-JK atas Mahkamah Konstitusi, KPU dan rezim Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dilakukan oleh Prabowo. Berbagai langkah politik yang dibungkus dengan alasan konstitusional dilakukan oleh Prabowo dengan tujuan melakukan delegitimasi atas hasil pilpres. Dua institusi yakni KPU dan rezim pemerintahan Presiden SBY menjadi target tuntutan yang lebih ke politis dibanding hukum. Namun di balik itu tampak sekali penerapan strategi Puputan alias ‘barji barbeh' ala Timses Prabowo-Hatta.
Apa tujuan Prabowo yang telah kalah total dan gagal total tampil sebagai pemenang dan negarawan melakukan tuntutan atas hasil pilpres yang juga dipastikan akan gagal tersebut menerapkan strategi barji-barbeh?
Penyebab penerapan strategi Puputan alias barji-barbeh antara lain (1) kecewa dan malu, (2) pengaruh bisikan Timses dan mitra koalisi, (3) megalomania yang dibangun selama kampanye, (4) kerugian materi Prabowo dan penyelamatan ARB, (5) asal bukan Jokowi-JK berkuasa.
Pertama, Prabowo dipastikan merasa sangat kecewa dan malu setelah berjuang selama 5 tahun dengan Gerindra cuma dikalahkan oleh Jokowi-JK. Malu karena merasa yakin dan diyakinkan oleh PPP, PKS dan Golkar bahwa Prahara pasti akan menang. Penggambaran kemenangan oleh PKS dan Golkar sedemikan meyakinkan sehingga keyakinan itu menjadi ‘nyata' dalam imajinasi Prabowo. Ketika kalah, Prabowo tak mau menerima.
Kedua, rasa kecewa itu ditambah lagi menjadi semakin besar ketika PKS menampilkan data kemenangan pilpres berdasarkan imajinasi PKS. Mahfud MD pun menyebut data kemenangan dan kecurangan pilpres hanyalah berdasarkan omongan dan bukan data. Mahfud MD belum pernah melihat data tersebut. Berdasarkan imajinasi itulah dibangun ‘kecurangan' pilpres oleh KPU yang bersifat masif, terstruktur, dan sistematis. Itu salah satu alasan Mahfud MD keluar dari Timses Prabowo.
Timses Prahara tetap mendorong-dorong Prabowo maju berjuang demi kemenangan dan atas nama keadilan. Yang benar adalah kepentingan kelompok Aburizal Bakrie dan PKS yang sangat ingin menguasai sumber daya di bawah Prabowo. Di satu sisi Prabowo sangat ambisius, di pihak lain PKS dan ARB memiliki kepentingan golongan yang harus terpenuhi. Klop. Saling melengkapi.
Ketiga, di tengah kegalauan akan kekalahan, Prabowo yang selama kampanye digambarkan hebat, kuat, berpengaruh mengalami megalomania: merasa besar. Akibatnya, meskipun tidak dianggap lagi memiliki kekuatan apapun oleh SBY, Moeldoko, dan Sutarman, mitra koalisi menggunakan semangat Prabowo sebagai pijakan untuk berjuang di parlemen.
Jokowi akan dijadikan ‘musuh bersama' dengan catatan ‘koalisi permanen' tetap utuh. Maka Prabowo tetap didukung untuk menang lewat MK atau MPR di kemudian hari. Prabowo sejak gagal menang di Quick Count normal melakukan langkah-langkah politis taktis untuk menunjukkan kekuatan dan eksistensinya. Prabowo menyatakan menang. Ini langkah politis pertama untuk menjaga ‘rasa menang' di kalangan pendukung yang akan dijadikan modal untuk berjuang panjang menuju ‘kemenangan' di Mahkamah Konstitusi dan (atau) di MPR (jika MPR masih utuh).
Dan, Prabowo-Hatta nantinya secara konstitusional akan menjadi presiden menggantikan Jokowi-JK, lewat MPR. Itulah skenario jauh berdasarkan konstitusi yang dijanjikan kepada Prabowo-Hatta. Untuk itulah maka pansus Pilpres pun didengungkan demi mendapatkan hasil ‘pilpres' tidak sah, pilpres illegal. Dengan demikian Jokowi-JK pun illegal dan harus turun dari takhta kekuasaan sebagai presiden dan wakil presiden.
Keempat, selain alasan di atas kerugian materi Prabowo dan keluarganya pun sangat memukul mereka. Prabowo diyakini mengalami kerugian materi. Bahkan hanya Rp 300 miliar dana kampanye untuk Jokowi-Ahok dari keluarga Prabowo untuk kampanye Pilgub DKI 2012 pun diungkit. Itu menunjukkan Prabowo bisa jadi mengalami kesulitan keuangan.