[caption id="attachment_351526" align="aligncenter" width="600" caption="Pasangan calon presiden dan calon wakil presiden nomor urut 1 Prabowo Subianto-Hatta Rajasa hadir dalam sidang perdana perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) presiden dan wakil presiden 2014 di Mahkamah Konsistusi, Jakarta, Rabu (6/8/2014)/Kompasiana (KOMPAS.COM/RODERICK ADRIAN MOZES)"][/caption]
Prabowo melakukan orasi berapi-api di Mahkamah Konstitusi. Berbicara gegap gempita. Membakar semangat diri, pendukung dan negeri dengan orasi omongan luar biasa bersemangat. Khas gaya pidato hasil belajar dari rekaman pidato Bung Karno. Itu dari sisi Prabowo. Terhadap pidato Prabowo, ada hal lain yang menarik yakni reaksi banyak orang atas pidato Prabowo di MK dari pendukung dan kubu lawan secara komunikasi bahasa tubuh alias body language. Mari kita bahas sedikit dari sisi psikologi bahasa tubuh ya.
Pidato dan gaya Prabowo sudah cukup bagus. Dimiripkan dengan Bung Karno khusus untuk bajunya oke. Boleh. Untuk isinya jauh panggang dari api. Bung Karno selalu menjadikan panggung sebagai media untuk berakting sempurna miliknya. Maka Bung Karno selalu sempurna memilih kata-kata hingga detilnya pun tak pernah salah.
Prabowo sudah cukup bagus untuk bergaya ala Bung Karno KW, namun akan lebih bagus jika Prabowo belajar membaca dan mengumpulkan fakta sebelum berpidato. Akibatnya, Prabowo sering keseleo lidah dan cenderung impulsive. Ketika berpidato sering keluar dari alur logika dan fakta yang seharusnya dijadikan acuan. Karenanya, pilihan diksi dan kata Prabowo cenderung masih gagap dan belum terstruktur, hasilnya banyak salah.
Selain itu data yang minim menyebabkan pidato Prabowo jauh dari bajunya yang mirip Bung Karno plus lambang cap lang merah di dada kanan. Itu dari sisi Prabowo. Namun, bagi pendukung Prabowo pidatonya ditepuk-tangani yang menyebabkan Hamdan Zoulva memeringatkan. Seolah ruang sidang Mahkamah Konstitusi dianggap seperti di lapangan tempat bermain bola seperti tema lagu kampanye yang dicomot dari lagu the Jakmania, Garuda di Dadaku!
Sangat menarik ketika menonton sidang di Mahkamah Konstitusi secara langsung yang tidak terekam oleh kamera televisi. Ada perbedaan antara melihat langsung mimik muka para hakim Mahkamah Konstitusi dan para pendukung dan pentolan partai. Lebih mudah mengamati karena tidak tergantung oleh fokus kamera televisi.
Tampak Hatta Rajasa mengatupkan kedua tangan dengan penuh perhatian. Mata-mata Hatta tak melihat ke arah kanan ketika Prabowo berpidato. Hatta memandang lurus. Mulut dikatupkan. Maknanya secara psikologi memertanyakan pidato dan isi pidato Prabowo di sampingnya yang berbaju sama.
Di belakangnya ada Akbar Tandjung yang mulutnya terkatup dengan kedua tangan disatukan mengepal. Tampak tegang mukanya, padahal Akbar Tandjung orang tegar dan pemain watak yang hebat. Akbar Tandjung dengan dingin tanpa reaksi berlebihan menahan napas dan memertahankan mukanya agar tidak berubah.
Tak lupa, di baris belakangnya, Fadli Zon justru bermimik ceria, cerah segar dan berbahagia mendengar junjungannya berpidato seperti itu. Apalagi, pengagum Karl Marx dan Fadli pernah berziarah ke makam Karl Marx, mimik muka Fadli Zon langsung berbinar mendengar Indonesia disamakan dengan dan sebagai negara fasis, otoriter dan komunis.
Di dalam hati, berdasarkan bahasa tubuh itu jelas kecewa. Akbar dan Hatta merasa terheran-heran dan masygul dengan isi omongan pidato Prabowo. Maka sehabis pidato, Hatta tidak menyalaminya. Diam saja. Namun tidak bagi Fadli Zon, mimik muka Fadli Zon justru tenang dan tampak halus dan tidak berkerut dengan muka segar. Artinya, Fadli Zon menikmati sekali pidato Prabowo.
Di kubu yang lain, pengacara KPU Adnan Buyung Nasution tampak tenang mimik mukanya. Tenang. Sebagai hakim senior, Adnan Buyung memang memiliki gaya berbeda. Ekspresif. Ketenangan muka Adnan menunjukkan beliau merasa nyaman dan geli mendengarkan pidato Prabowo yang isinya gak karuan itu. Tidak fokus terkait materi tuntutan, namun justru lebih banyak membuat tuduhan yang tak berdasar dan akan sangat mudah dipatahkan.