Prabowo menunggu hari-hari yang panjang sebagai petarung. Sudah tahu akan kalah dalam gugatan di Mahkamah Konstitusi (MK) berdasarkan informasi intelejen, Prabowo menyiapkan perang baru selain Pansus juga ke PTUN dan MA. Dalam sejarah panjang Indonesia kuno dan kini, banyak istibat dan tamsil sejarah yang memiliki kesamaan. Bahkan Prabowo pernah menyebutkan tentang Pansus Ken Arok terkait masalah HAM dirinya. Rupanya Prabowo paham betul kisah Ken Arok, Ken Dedes, Ken Umang dan tentu Tunggul Ametung. Kisah perebutan kekuasaan di Akuwu Tumapel dalam kekuasaan Akuwu Tunggul Ametung menjadi relevan saat ini.
Prabowo yang berubah sikap, perbuatan, tingkah laku, sifat yang keasliannya tampak terjadi setelah kenampakan peluang menang muncul dalam pilpres 2014. Di tengah kampanye pilpres, Prabowo yang dibisiki oleh para pebisik di sekelilingnya tentang kepastian menang langsung berubah menjadi presiden, walau belum terpilih dan masih dalam masa kampanye. Prabowo menjadi sok percaya diri. Prabowo menjadi sok kuat. Prabowo menjadi tukang orasi dengan tingkat akurasi nyaris nol. Banyak salah. Dengan sikap dan sifat memaksa dan sok menang sendiri.
Ken Arok atau Ken Angrok dalam buku Negarakertagama dan Pararaton berubah sikap menjadi baik sekali, menjadi santun, menjadi pesolek, menjadi flamboyan, menjadi berbudi luhur, dan berusaha tampil menjadi orator ulung dengan presisi pencitraan tingkat tinggi. Maka Ken Arok tampil menjadi pribadi yang menyerupai sosok kombinasi antara seorang bijak bak seorang Resi dan Ksatria serta Akuwu atau bahkan Raja.
Prabowo kini di mana-mana berorasi. Seperti yang terjadi di Bandung beberapa hari lalu di depan pendukungnya. Tak segan Prabowo membuat pernyataan yang menyamakan rakyat Indonesia yang tidak disamakan dengan kambing. Bahwa rakyat Indonesia bukan kambing. Rakyat diajak menuntut dan mencari keadilan dengan maksud untuk membuat Prabowo menang dan menjadi presiden.
Ken Arok menyambangi berbagai kelompok masyarakat dari mulai para resi, para petani, para pembuat keris, para penyair dan tentu para hulubalang dan jawara. Ken Arok sendiri berasal dari keturunan antara anak petani dan resi. Dalam pencitraan selanjutnya Ken Arok mengaku keturunan Dewa Wisnu - suatu pengakuan di zaman itu yang hanya orang kuat, cerdas dan memiliki kepribadian kuat untuk mengangkat diri menjadi keturunan dewa. Ken Arok dalam berbagai kesempatan tidak menunjukkan sama sekali ambisi tersembunyinya untuk merebut kekuasaan Akuwu di Tumapel. Ken Arok mampu menaham ambisi pribadi keluar dari dirinya.
Prabowo menggalang pertemanan dengan Ical, Idrus Marham, Fahri Hamzah, Anis Matta, Amien Rais, Fadli Zon, dan berbagai elemen korup seperti Suryadharma Ali. Prabowo terlarut dalam nasihat untuk merebut atau memenangi kekuasaan dengan segala cara. Semua itu demi penyelamatan mereka. Bukan untuk Prabowo. Prabowo hanya menjadi alat bagi mereka. Dan Prabowo menjadi seperti mereka dan menganggap diri telah menjadi presiden: kuat, berpengaruh dan terhormat.
Ken Arok berteman dengan semua kalangan. Selain orang-orang baik, Ken Arok didukung oleh kelompok kecu atau perampok, pembunuh, pencoleng, dan bromocorah - karena Ken Arok memang dibesarkan oleh keluarga perampok setelah dibuang oleh orang tuanya di sebuah kuburan keramat di desa Kidal - Ken Arok tidak larut dalam euphoria menuju dan bersikap serta bertingkah laku seperti perampok, pembunuh, atau bromcorah yang memamerkan kekuasaan.
Ken Arok tahu bahwa dirinya belum menjadi Akuwu. Ken Arok tahu meskipun dia didukung oleh kelompok baik dan buruk. Kedua kelompok ini dirangkul untuk kepentingan strategis Ken Arok - yakni menjadi Akuwu - bukan malahan Ken Arok menjadi terlarut menjadi orang buruk dan brangasan tak karuan karena merasa telah menang dukungan dari semua kalangan.
Prabowo menggalang koalisi rapuh yang terdiri para penguasa partai dan para individu oportunis yang sangat jauh dari loyal. Sejarah Golkar, PPP, PAN, Demokrat adalah sejarah kekuasaan, bukan sejarah perarung. Golkar tak pernah menjadi oposisi dan selalu berada dalam pemerintahan. PPP pun demikian selalu ke sana ke mari. PAN pun selalu ingin menjadi bagian dari kekuasaan. Demokrat sama sekali tak ingin berada di luar pemerintahan dan ingin program kerjanya dilanjutkan. Jadi, Prabowo berdiri di antara para pendukung yang tak loyal.
Ken Arok mampu menggalang kekuatan yang berjarak dengan dirinya. Ken Arok dekat dengan kalangan para empu atau pembuat keris, termasuk Mpu Gandring - seorang Mpu dan Resi terkenal yang mampu membuat keris bertuah dan keramat. Resi lain di Tumapel bahkan menyebutkan bahwa ken Dedes adalah sarana untuk menjadi penguasa. Bahwa siapapun yang mampu menikahi Ken Dedes - putri seorang resi terkenal - akan menjadi penguasa Tumapel dan bahkan akan menurunkan raja-raja di kemudian hari. Dari sinilah ambisi Ken Arok dibangun dengan sangat sempurna. Ken Arok tak tampak akan melakukan pembunuhan terhadap Tunggul Ametung - Akuwu berpermaisuri Ken Dedes. Oleh karena itu Ken Arok semakin berkibar di semua kalangan rakyat dan bahkan Akuwu Tunggul Ametung dan Ken Dedes sebagai orang baik.
Prabowo menggunakan potensi kekuasaan, kekuatan, dan pengaruh untuk serta merta unjuk kekuatan berupa modal koalisi permanen. Maka serta merta Prabowo tampil di mana-mana sebagai pejuang keadilan dengan atas nama rakyat untuk kepentingan diri dan kelompoknya. Prabowo pun semakin terpuruk dan ketahuan begitu berambisi menjadi presiden dengan dukungan kapal karam dan pentolan partai yang korup atau tersangkut masalah hukum seperti Aburizal Bakrie (Lumpur Lapindo), Suryadharma Ali (korupsi haji), Fahri Hamzah dan Marzuki Alie (disebut menerima US $ 25,000 dan US $ 1 juta dala kasus Hambalang) dan tentu Idrus Marham yang terkait kasus Akil Mochtar. Prabowo menjadi alat perjuangan diri dan kelompoknya.
Ken Arok menggunakan kekuatan mistis Mpu Gandring secara diam-diam dan strategis membunuh Mpu Gandring. Keris keramat itu dipinjamkan kepada Kebo Ijo, pekerja ksatria di lingkaran kekuasaan Akuwu Tunggul Ametung, Akuwu Tumapel. Keris sebagai senjata dan lambang kekuatan tidak ditunjukkan oleh Ken Arok. Ken Arok secara strategis menyimpan kekuatan itu. Dengan keris yang diketahui oleh rakyat Tumapel sebagai milik Kebo ijo, Ken Arok membunuh Tunggul Ametung yang hanya diketahui oleh Ken Dedes. Karena keelokan dan keterkenalan dan sikap simpatik dan menawan serta flamboyan Ken Arok, Ken Dedes luluh dan merahasiakan pembunuh Tunggul Ametung dan akhirnya menikah dengan Ken Arok.
Maka Ken Arok atas dukungan Ken Dedes, rakyat yang menangkap citra positif Ken Arok, para resi para mpu dan ksatria bahkan kelompok hitam dan mafia zaman Tumapel yang diwakili oleh gang kecu dan perampok, Ken Arok yang menangkap Kebo Ijo dan mengadili dengan membunuh Kebo Ijo melalui pengadilan. Hanya Ken Dedes yang tahu rahasia ini. Sebagai orang yang berjasa, Ken Arok mengangkat diri menjadi penguasa Tumapel menggantikan Tunggul Ametung.
Beristibat sejarah ini maka tampaknya Prabowo adalah sosok Kebo Ijo dalam sejarah Singosari dan Tumapel. Kebo Ijo pamer kekuatan berupa keris keramat yang dibanggakan yang akhirnya membunuh dirinya sendiri. Pamer kekuatan Kebo Ijo yang tak semestinya pada akhirnya dimanfaatkan oleh kekuatan lain yang lebih cerdas dan strategis yakni Ken Arok untuk memuaskan dan mewujudkan ambisinya. Pamer kekuatan Prabowo yang tak semestinya dimanfaatkan oleh Jokowi untuk menggalang kekuatan dan menggerogoti rapuhnya koalisi dan kekuatan Prabowo untuk menenggelamkan ambisi Prabowo untuk selama lamanya.
Prabowo, tampaknya ditakdirkan tampil sebagai petarung. Tampil sebagai pejuang. Tampil sebagai prajurit dan tampil sebagai pejihad berdasarkan kepentingan diri dan orang ambisius lain di luar kepentingan bangsa dan negara.
Tampak sekali Jokowi menerapkan strategi Ken Arok dan Prabowo menerapkan strategi Kebo Ijo dalam pertarungan perebutan kekuasaan di Indonesia.
Salam bahagia ala saya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI