Mohon tunggu...
Ninoy N Karundeng
Ninoy N Karundeng Mohon Tunggu... Operator - Seorang penulis yang menulis untuk kehidupan manusia yang lebih baik.

Wakil Presiden Penyair Indonesia. Filsuf penemu konsep "I am the mother of words - Saya Induk Kata-kata". Membantu memahami kehidupan dengan sederhana untuk kebahagian manusia ...

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pak Prabowo, Ini Contoh Hasil Perang Hamas-Israel dan Derita Rakyat Palestina

29 Agustus 2014   03:17 Diperbarui: 18 Juni 2015   02:14 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pak Prabowo, publik melihat Pak Prabowo sebagai seorang combatant - meskipun hasilnya belum pernah terbukti berhasil. Namun, publik salut dengan semangat Pak Prabowo yang pantang menyerah. Tak ada scenario kalah. Tak ada istilah Prabowo kalah. Namun, melihat sepak terjang Pak Prabowo publik justru teringat akibat perang. Perang baik secara psikologis maupun perang benerang tak memberikan manfaat apapun. Mari kita telaah konsep perang secara psikologis dan perang beneran yang keduanya tak memberikan manfaat banyak, lebih banyak ruginya malahan.

Seorang manusia, seperti Pak Prabowo misalnya, atau Fadli Zon contohnya, memiliki konsep semangat hidup yang luar biasa. Sebagai seorang militer, tak ada yang ditakuti. Tak ada di dunia ini yang menakutkan. Pistol, granat, bom, hanyalah alat untuk membela diri dan membunuh orang lain. Fadli Zon pun memiliki konsep tak ada takutnya, tak ada yang ditakuti. Semua kalau perlu takut kepada diri si pemilik konsep tentang perang sebagai ideology: bahwa perang adalah upaya membela diri.

Publik salut dengan sikap tak mau mengalah. Apalagi mau mengaku kalah. Itu pantang. Nah, Pak Prabowo dan Fadli Zon memiliki sikap itu. Sungguh menarik dan sangat baik untuk membentuk elan vital. Sangat baik untuk agar hidup penuh semangat.

Maka menjadikan konsep perang sebagai ideologi adalah hal yang luar biasa. Sangat hebat. Para pemilik dan pemercaya ideologi perang sebagai alat ‘survival of the fittest' atau seleksi alam siapa yang kuat dialah yang menang sungguh sangat jantan, tegar dan kuat secara fisik. Nah, Pak Prabowo pasti juga paham bahwa dalam perang itu ada yang memakai otak, ada yang memakai senjata. Itu namanya strategi, taktik dan bahkan intelejen. Disebut intelejen karena sifatnya yang tak tampak, rahasia dan satu kata: cerdas.

Dalam perang baik dalam arti sesungguhnya atau tak sesungguhnya pasti ada yang kalah dan ada yang menang. Para jenderal selalu menjadi pihak yang menang. Prajurit bisa kalah dan bahkan hilang dari muka bumi dan diberi gelar: pahlawan. Dan, selain prajurit, maka rakyat menjadi korban. Dalam perang perebutan kekuasaan, misalnya pemilihan presiden, Pak Prabowo berperang melawan Pak Jokowi. Hasilnya, meskipun Pak Prabowo memiliki kekuatan, namun Jokowi memiliki kekuatan lebih yakni strategi perang, taktik perang dan intelejen dalam diri Jokowi. Makanya, dengan kelebihan Jokowi itu maka Jokowi menang dalam perang melawan Pak Prabowo.

Namun, karena satu dan lain hal, Pak Prabowo akan terus melakukan perlawanan dengan cara apapun untuk menggempur Jokowi. Itu artinya, konsep perang sudah mendarah daging di dalam diri Pak Prabowo sebagai prajurit. Prajurit tak memiliki strategi. Yang memiliki strategi itu Jenderal. Prajurit tak memiliki strategi dan falsafah kecuali: dor dor dan dor. Itu kenyataan dalam perang. Dan, dalam perang selalu dimenangkan oleh Jenderal yang brilian, bukan prajurit brilian. Selain prajurit yang selalu menjadi korban, maka para pengikut dan rakyat selalu menjadi pihak yang menderita. Contohnya perang 50 hari Israel - Hamas di Gaza.

Catatan tentang perang 50 hari itu sungguh mengenaskan. Kemarin gencatan senjata antara Hamas dan Israel mulai berlaku. Akibat perang itu apa Pak Prabowo? Penderitaan. Mari kita telaah hasil dari konsep ‘perang' dengan hasil yang dicapai. Bagi para pentolan Hamas, gencatan senjata dianggap kemenangan Hamas, padahal Israel tak memberikan konsesi apapun kepada Hamas.

Hamas sesungguhnya dikalahkan secara telak oleh Israel. Jika Hamas tidak menolak perintah Israel pada awal serangan, Israel tak perlu menghancurkan 32 terowongan untuk menyerang Israel. Hamas tak perlu kehilangan mortar yang kini hanya tersisa sekitar 2000 dari 10,000. Dan yang terpenting, Gaza tak akan hancur.

Sayangnya, akibat kekerasan kepala Hamas, Gaza kembali ke belakang untuk beberapa puluh tahun. Lebih dari 5,000 rumah hancur. Ribuan rumah lain rusak dan hampir roboh. Gaza pun mengalami kekurangan air bersih dan listrik. Lebih dari 2400 orang Gaza tewas, 70-an warga Israel juga tewas.

Tiga ratus ribu orang penduduk Gaza - yakni15% penduduk Gaza - menjadi pengungsi, yang sesungguhnya Gaza sendiri mirip kamp pengungsi besar. Kemarahan, keputus-asaan menghinggapi penduduk Gaza.

Rakyat Gaza pun tidak akan berani protes di jalanan karena Hamas mereka menderita. Hamas menerapkan kekuasaan dengan menakuti dan meneror. Untuk menunjukkan kekuatan Hamas mengeksekusi penduduk Gaza yang dituduh mata-mata dan pengkhianat. Tujuannya adalah mengirimkan pesan kepada penduduk Gaza: Hamas masih ada. Jangan melawan kami.

Namun, rakyat Gaza akan ingat siapa yang membuat mereka mengalami malapetaka.

Dalam kesan yang sama, perang Gaza memiliki kesamaan dengan Perang Lebanon II tahun 2006. Kenyataan Hezbollah dikalahkan. Namun, Hasan Nasrallah tak mengakui kekalahan. Delapan tahun kemudian, berkat strategi Israel nyatanya Israel Utara menikmati ketenangan dan kedamaian.

Hezbollah pun tak berani lagi menyerang negara Yahudi. Sementara Nasrallah sendiri selalu bersembunyi ketakutan kehilangan nyawa. Kejadian ini akan sama dengan Hamas. Perang Gaza menunjukkan kegagalan taktik dan target. Pada awalnya Hamas menunjukkan determinasi dan kemampuan perang gerilnya kota.

Mereka mampu bertahan menghadapi mesin perang Israel yang sangat kuat. Mereka menghentikan operasi bandara dua hari, yang sedikit menghantam ekonomi Israel. Namun mereka gagal menyerang dengan strategi komando yang melakukan penyusupan lewat laut dan terowongan.

Tiga trio pemimpin yakni Perdana Menteri Benyamin Netanyahu, Menteri Pertahanan Moshe Ya'alon dan Kepala Staff Keamanan Let. Jend. Benny Gantz, telah berhasil menahan diri untuk menghindari semakin banyaknya korban dengan mengesampingkan keinginan dan tekanan rakyat, yang mengingkan Israel membasmi Hamas tanpa sisa.

Netanyahu, Ya'alon dan Gantz memilih untuk tidak menduduki Gaza atau menurunkan Rezim Hamas dari kekuasan di Gaza. Kenapa mereka tidak melakukan itu? Itulah strategi Pak Prabowo. Di dalam perang, tidak selamanya menyerang. Terkadang mundur, maju, kompromi, lalu menyerang lagi.

Maka folosofi dan ideology perang harus pula ditambah dengan kecerdasan agar mencapai tujuan. Perang yang dilakukan hanya dengan dar der dor dor bukanlah perang, itu adalah pertempuran. Dan yang memimpin perang selalu seorang jenderal, seorang prajurit hanyalah menjalankan perintah dalam pertempuran.

Oleh sebab itu, bisa dipahami jika Pak Prabowo banyak melakukan pertempuran dan bukan perang. Dalam strategi perang, termasuk pilpres jika diibaratkan perang, Pak Prabowo menjadi prajurit yang menganggap diri jenderal dalam pertempuran. Sesungguhnya yang terjadi, Pak Prabowo menerapkan perang dengan strategi prajurit.

Oleh sebab itu maka, ketika Pilpres, banyak serangan-serangan dalam pertempuran - kampanye dan pidato - menunjukkan kekuatan prajurit dan bukan jenderal. Akibatnya, kalah dalam pertempuran - kampanye - dan kalah dalam perang - yakni gagal menjadi Presiden.

Pak Prabowo harus belajar dari Netanyahu yang mampu menyerang dan memimpin dengan baik. Sebentar lagi Pak Jokowi akan sekelas posisinya dengan Netanyahu sebagai kepala pemerintahan dan tentu Panglima Tertinggi TNI yang membawahi Jenderal-jenderal dan prajurit seluruh Indonesia. Dengan demikian, Pak Prabowo bisa belajar dari Pak Jokowi.

Nah, hasil dari perang itu adalah rakyat menderita. Maka menjadi lebih bijaksana jika jiwa perang, ideology perang, filosofi perang, yang menjadi keyakinan seorang prajurit, disimpan dalam strategi seorang jenderal seperti yang dilakukan oleh Netanyahu, Ya'alon, Gantz, atau bahkan Jokowi yang telah terbukti memenangkan perang Pilpres. Maka simpan ambisi perang dan bekerjalah untuk rakyat karena jika perselisihan terus terjadi, maka rakyatlah yang menderita: contohnya Perang Gaza 50 hari Hamas-Israel.

Salam bahagia ala saya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun