Pak Prabowo, publik melihat Pak Prabowo sebagai seorang combatant - meskipun hasilnya belum pernah terbukti berhasil. Namun, publik salut dengan semangat Pak Prabowo yang pantang menyerah. Tak ada scenario kalah. Tak ada istilah Prabowo kalah. Namun, melihat sepak terjang Pak Prabowo publik justru teringat akibat perang. Perang baik secara psikologis maupun perang benerang tak memberikan manfaat apapun. Mari kita telaah konsep perang secara psikologis dan perang beneran yang keduanya tak memberikan manfaat banyak, lebih banyak ruginya malahan.
Seorang manusia, seperti Pak Prabowo misalnya, atau Fadli Zon contohnya, memiliki konsep semangat hidup yang luar biasa. Sebagai seorang militer, tak ada yang ditakuti. Tak ada di dunia ini yang menakutkan. Pistol, granat, bom, hanyalah alat untuk membela diri dan membunuh orang lain. Fadli Zon pun memiliki konsep tak ada takutnya, tak ada yang ditakuti. Semua kalau perlu takut kepada diri si pemilik konsep tentang perang sebagai ideology: bahwa perang adalah upaya membela diri.
Publik salut dengan sikap tak mau mengalah. Apalagi mau mengaku kalah. Itu pantang. Nah, Pak Prabowo dan Fadli Zon memiliki sikap itu. Sungguh menarik dan sangat baik untuk membentuk elan vital. Sangat baik untuk agar hidup penuh semangat.
Maka menjadikan konsep perang sebagai ideologi adalah hal yang luar biasa. Sangat hebat. Para pemilik dan pemercaya ideologi perang sebagai alat ‘survival of the fittest' atau seleksi alam siapa yang kuat dialah yang menang sungguh sangat jantan, tegar dan kuat secara fisik. Nah, Pak Prabowo pasti juga paham bahwa dalam perang itu ada yang memakai otak, ada yang memakai senjata. Itu namanya strategi, taktik dan bahkan intelejen. Disebut intelejen karena sifatnya yang tak tampak, rahasia dan satu kata: cerdas.
Dalam perang baik dalam arti sesungguhnya atau tak sesungguhnya pasti ada yang kalah dan ada yang menang. Para jenderal selalu menjadi pihak yang menang. Prajurit bisa kalah dan bahkan hilang dari muka bumi dan diberi gelar: pahlawan. Dan, selain prajurit, maka rakyat menjadi korban. Dalam perang perebutan kekuasaan, misalnya pemilihan presiden, Pak Prabowo berperang melawan Pak Jokowi. Hasilnya, meskipun Pak Prabowo memiliki kekuatan, namun Jokowi memiliki kekuatan lebih yakni strategi perang, taktik perang dan intelejen dalam diri Jokowi. Makanya, dengan kelebihan Jokowi itu maka Jokowi menang dalam perang melawan Pak Prabowo.
Namun, karena satu dan lain hal, Pak Prabowo akan terus melakukan perlawanan dengan cara apapun untuk menggempur Jokowi. Itu artinya, konsep perang sudah mendarah daging di dalam diri Pak Prabowo sebagai prajurit. Prajurit tak memiliki strategi. Yang memiliki strategi itu Jenderal. Prajurit tak memiliki strategi dan falsafah kecuali: dor dor dan dor. Itu kenyataan dalam perang. Dan, dalam perang selalu dimenangkan oleh Jenderal yang brilian, bukan prajurit brilian. Selain prajurit yang selalu menjadi korban, maka para pengikut dan rakyat selalu menjadi pihak yang menderita. Contohnya perang 50 hari Israel - Hamas di Gaza.
Catatan tentang perang 50 hari itu sungguh mengenaskan. Kemarin gencatan senjata antara Hamas dan Israel mulai berlaku. Akibat perang itu apa Pak Prabowo? Penderitaan. Mari kita telaah hasil dari konsep ‘perang' dengan hasil yang dicapai. Bagi para pentolan Hamas, gencatan senjata dianggap kemenangan Hamas, padahal Israel tak memberikan konsesi apapun kepada Hamas.
Hamas sesungguhnya dikalahkan secara telak oleh Israel. Jika Hamas tidak menolak perintah Israel pada awal serangan, Israel tak perlu menghancurkan 32 terowongan untuk menyerang Israel. Hamas tak perlu kehilangan mortar yang kini hanya tersisa sekitar 2000 dari 10,000. Dan yang terpenting, Gaza tak akan hancur.
Sayangnya, akibat kekerasan kepala Hamas, Gaza kembali ke belakang untuk beberapa puluh tahun. Lebih dari 5,000 rumah hancur. Ribuan rumah lain rusak dan hampir roboh. Gaza pun mengalami kekurangan air bersih dan listrik. Lebih dari 2400 orang Gaza tewas, 70-an warga Israel juga tewas.
Tiga ratus ribu orang penduduk Gaza - yakni15% penduduk Gaza - menjadi pengungsi, yang sesungguhnya Gaza sendiri mirip kamp pengungsi besar. Kemarahan, keputus-asaan menghinggapi penduduk Gaza.
Rakyat Gaza pun tidak akan berani protes di jalanan karena Hamas mereka menderita. Hamas menerapkan kekuasaan dengan menakuti dan meneror. Untuk menunjukkan kekuatan Hamas mengeksekusi penduduk Gaza yang dituduh mata-mata dan pengkhianat. Tujuannya adalah mengirimkan pesan kepada penduduk Gaza: Hamas masih ada. Jangan melawan kami.