Rasa dendam Prabowo dan koalisi permanen dan faktor lengsernya SBY serta korupsi memicu kelahiran UU MD3 dan UU Pilkada. Dua upaya koalisi permanen secara terstruktur, masif, dan sistematis memicu kelahiran kejahatan politik anti demokrasi atas nama dan berlindung dalam demokrasi anarkis sebagai wujud tirani mayoritas. UU MD3, UU Pilkada oleh DPRD adalah realita politik anti demokrasi sebagai ekses dan reaksi kekalahan (Prabowo) dan ketakutan (SBY dan pendukung status quo). Kondisi ini dijadikan pelampiasan permainan dan dimanfaatkan lebih luas oleh mafia yang bermain dalam kontestasi politik Indonesia sekarang. Bagaimana pihak anti demokrasi memanfaatkan momentum untuk menjalankan agenda anti demokrasi di Indonesia?
Terdapat empat faktor yang memicu kejahatan politik anti demokrasi dalam balutan demokrasi yakni (1) memanfaatkan dendam Prabowo dan koalisi permanen, (2) faktor lengsernya dan ketakutan SBY, dan (3) upaya unsur status quo yang memertahankan korupsi dan mafia dalam politik dan ekonomi Indonesia, (4) ketakutan pada program Jokowi-JK yang akan menyejahterakan dan mengubah Indonesia.
Pertama, dendam Prabowo dan koalisi permanen. Prabowo yang secara terbuka menyatakan sakit hati, tidak menerima, dan menolak lalu memaklumi hasil pilpres tetap tidak menerima secara legawa. Sikap Prabowo ini sudah muncul sejak lama bahkan sebelum pilpres bisa dilihat dengan berbagai pernyataannya yang bertolak belakang dengan sikapnya. Bahkan sampai sekarang Prabowo tidak mengucapkan selamat kepada Jokowi sebagaimana dijanjikan oleh Tantowi Yahya, Hatta Rajasa, Fadli Zon, dan lingkaran koalis permanen. Prabowo berlibur dan menghibur diri dengan mengurus kuda-kuda di rumahnya.
Rasa dendam Prabowo dan seluruh koalisi permanen sudah disiapkan sejak sebelum kekalahan pilpres. Pada tanggal 8 Juli 2014, sehari sebelum pileg, DPR menggolkan UU MD3 yang bermaksud untuk mengamputasi PDIP sebagai pemenang dan merencanakan seluruh kepemimpinan DPR dan DPRD di bawah kendali koalisi permanen dengan mengajukan sistem paket posisi pemimpin. Dengan demikian, PDIP, NasDem, Hanura, dan PKB tak akan mendapatkan posisi kepemimpinan di DPR dan DPRD. Mudah ditebak upaya menguasai pimpinan lembaga ini adalah untuk menjegal seluruh program Jokowi-JK dari pusat sampai daerah.
Dan yang dilupakan, tidak semua anggota DPR koalisi permanen adalah para anggota gangster yang anti demokrasi dan manusia yang tak mencintai Indonesia. Tidak semua pimpinan partai seperti, Demokrat, PKS dan PPP yang ketua umum mereka para koruptor.
Kedua, lengsernya SBY dan ketakutan pasca lengser. SBY menjadi bagian dari koalisi permanen karena kasus Century dan Ibas serta benih serta Hambalang, ditambah dengan terkuaknya Rudi Rubiandini dan semakin dekatnya Hatta Rajasa dimintai pertanggung-jawaban setelah ditangkapnya Jero Wacik.
SBY condong untuk melakukan tindakan anti demokrasi yang saat ini ‘lebih ramai' dan ‘lebih kuat' di mata SBY hanya dengan perhitungan jumlah kursi di parlemen yang meliputi 64% suara DPR. SBY tentu memersiapkan perlindungan antara pemerintahan yang revolusioner Jokowi dengan status quo. SBY memilih status quo karena faktor belitan penyebutan kasus hukum yang bisa menjerat SBY dan Ibas serta besan SBY serta kroni yang kehilangan kekuasaan.
Dan yang dilupakan oleh SBY dan rekan-rekannya adalah KPK dan komitmen Jokowi-JK tetap akan merangsek ke jantung korupsi lebih dalam lagi yang melibatkan lingkaran 1 - atau mantan rink 1 yang dekat dengan SBY seperti Jero Wacik yang jelas berbahaya. Reaksi SBY ke koalisi lebih ramai dan lebih kuat hanyalah fenomenal sesaat yang akhirnya akan menghempaskan SBY dan para pentolan partai koalisi permanen dalam perebutan ‘kue kekuasaan' yang sengaja disebar oleh Jokowi-JK. Jokowi akan melepaskan sebagian cengkeraman terhadap mafia di berbagai bidang untuk memecah-belah soliditas koalisi permanen.
Ketiga, kekuatan status quo rezim SBY sebagai pelanjut Orde Baru yang berusaha memertahankan posisi mereka. Rasa dendam Prabowo dan koalisi permanen dimanfaatkan dengan baik oleh kekuatan status quo yang masih bercokol di DPR, DPRD, para pengusaha hitam, aparat hukum dan keamanan yang korup, untuk menjegal Jokowi-JK. Pintu kekuasaan lewat DPRD - yang korup - dijadikan alat untuk berkuasa di kabupaten dan kota lewat kekuasaan para bupati dan walikota. Bupati dan walikota akan ditentukan oleh (1) kekuatan uang, (2) tokoh status quo pilihan DPRD - bukan rakyat, (3) elite partai politik, (4) kepentingan sempit para mafia di berbagai bidang.
Mereka berusaha memertahankan status quo sebagai penguasa ekonomi, politik, dan kekuasaan yang beralih di pucuk pimpinanya dari rezim SBY ke rezim yang lebih revolusioner Jokowi-JK. Untuk memotong dominasi di pusat maka mereka berusaha menguasai bupati dan walikota yang memiliki hak otonomi untuk mengatur wilayahnya.
Yang dilupakan, kekuatan media dan kekuatan rakyat yang sangat kritis dan logis. Media dan rakyat akan bergerak terlepas dari dukungan terhadap Prabowo dan Jokowi. Kalau sudah ada tanda-tanda kehancuran seperti menjelang kejatuhan rezim eyang saya Presiden Soeharto, maka dipastikan desakan rakyat akan menghancurkan seluruh rancangan anti demokrasi yang sedang digalang oleh koalisi permanen, SBY, dan para gangster mafia di berbagai bidang yang memanfaatkan dan menunggangi dendam akan kekalahan Prabowo dan koalisi permanen.