Mohon tunggu...
Ninoy N Karundeng
Ninoy N Karundeng Mohon Tunggu... Operator - Seorang penulis yang menulis untuk kehidupan manusia yang lebih baik.

Wakil Presiden Penyair Indonesia. Filsuf penemu konsep "I am the mother of words - Saya Induk Kata-kata". Membantu memahami kehidupan dengan sederhana untuk kebahagian manusia ...

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

DPR, MPR, Jokowi-Prabowo Cermin Perebutan Kekuasaan di Jawa Zaman Pajang-Mataram

7 Oktober 2014   16:28 Diperbarui: 17 Juni 2015   22:04 534
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Habis gaduh di DPR, di MPR pun sama. Gambaran apa yang tepat untuk menunjukkan perseteruan politik Jokowi melawan Prabowo? Ada upaya keras Prabowo - dengan koalisi permanennya - untuk menjadi presiden lewat MPR. Sebenarnya, pertarungan politik Jokowi-Prabowo adalah ekses persaingan antara dua bangsawan Jawa, meski beda keturunan. Gambaran ini tercermin dari sejarah kesultanan Pajang dan Mataram.

Dalam sejarah kekuasaan di Jawa (dan para raja di Nusantara), hanya yang memiliki keterkaitan dengan India, Tiongkok, dan Arab yang akhirnya membangun akulturasi kebudayaan dan peradaban Jawa, yang akan berkuasa. Semua raja di Nusantara - dari Maluku-Ternate sampai Semenanjung Malaya dan Thailand serta Sulu di Filipina - terkait dan dikaitkan dengan ketiga peradaban India, Tiongkok dan Arab.

Mula pertama kekuasaan Kudungga (diyakini tokoh lokal Hindu) seorang raja di Kalimantan, dia menampilkan sosok hebat. Namun karena dia sadar bahwa keaslian dan lokalitas kurang wah, maka dia menggunakan nama India ketika meninggal: Dewawarman. Sejak itu, semua raja Kutai - bukan Kutai Kertanegara - bergelar nama Warman yang berbau India.

Sejak saat itu semua raja di Nusantara mulai berkreasi menempatkan diri sesuai dengan trend politik masa mereka hidup. Pengaruh India secara formal meluntur, muncul pengaruh Tiongkok. Namun karena nama-nama Tiongkok kurang menjual dibandingkan dengan nama-nama India, maka pengaruh Tiongkok justru dalam darah para raja - yang kebanyakan melalui perkawinan. Sebagai contoh, Raja Brawijaya V memiliki istri dari Campa dan Tiongkok.

Sebelumnya, pada zaman Singasari dan Kediri, banyak laskar dari Tiongkok yang kalah perang dan menetap di Rembang, Gresik, Lasem, dan pesisir utara Jawa. Banyak dari para lascar itu berkembang dan menikah dengan perempuan setempat: jadilah warga pribumi keturunan.

Pendiri kerajaan Demak, Raden Patah pun adalah keturunan Tiongkok dengan nama asli Jin Bun. Pun juga para walisongo (9 dari 10 pengajar dan penyebar agama Islam di Jawa yang diakui) mereka memiliki darah Tiongkok, Arab dan India secara bersamaan. Dalam sejarah Babad Cirebon, Banten dan Jawa serta Madura selalu disebutkan tentang para putri Campa - yang sebenarnya adalah identifikasi perempuan Tionghoa yang pada saat itu yang terkenal adalah kerajaan atau putri Campa. Maksud penyebutan ini adalah untuk memberikan pengaruh ‘luar negeri' yang tak lain adalah Tiongkok.

Putusnya Kerajaan Demak diganti Pajang dan Mataram Islam juga tak memutuskan darah Tiongkok pada semua raja di Jawa karena Raja Mataram pertama keturunan raja Majapahit terakhir Brawijaya V. Yang dengan demikian memiliki darah Tiongkok.

Tentang semua babad Jawa, Cirebon, Sunda, Banten, Tidore, Ternate, Minang, Kelantan, Makassar, juga menyebutkan dan dihubungkan dengan keturunan Arab bahkan sampai trah keturunan Nabi Muhammad. Minimal para raja dihubungkan dengan keturunan Hadramaut alias Yaman. Tentang kebenaran mereka keturunan Arab paling kurang nama-nama mereka berbau Arab.

Dalam khasanah budaya Jawa klasik sejak zaman Majapahit, dan hampir seluruh kesultanan dan kerajaan selalu menempatkan keturunan perempuan Tiongkok (Campa) sangat disukai oleh para raja dan penyebar agama Islam seperti para wali yang menerapkan poligami. Bahkan Gus Dur pun dengan jelas menyebutkan dirinya keturunan Tiongkok dari silsilahnya: dan benar.

Dalam politik kebangsawanan dan kebangsaan di Jawa ( untuk membicarakan Jokowi dan Prabowo) maka tak akan terlepas dari sejarah masa lampau dari para keturunan di atas mereka: silsilah mereka. Bahwa kedua-duanya memiliki akar ke Kerajaan Mataram itu tak dapat dipungkiri. Lalu apa yang membedakan antara Jokowi dan Prabowo meskipun keduanya berasal dari kalangan bangsawan?

Jokowi mulai menunjukkan diri sebagai pemimpin kelas bendoro - gelar kehormatan bangsa Jawa. Sementara Prabowo tetap konsisten menggambarkan diri sebagai pemimpin bendoro namun bermental cantrik pembangkang. Ini penggambaran yang tepat dari dua sosok yang selepas pilpres masih terus berseteru tanpa henti. Jokowi, si bendoro - berupaya merangkul banyak pihak di luar dirinya untuk kepentingan rakyat banyak. Justru kondisi seperti ini yang tak disukai oleh Prabowo.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun