Harapan yang digantungkan oleh rakyat kepada Jokowi demikian besar. Euforia kemenangan Jokowi dan kekalahan Prabowo tetap berlanjut. Di tengah perseteruan kubu koalisi Jokowi dan koalisi Prabowo, maka yang tergambar adalah kepentingan rakyat dipertaruhkan dalam perseteruan politik kedua kubu. Namun, jika dicermati terdapat tanda-tanda bahwa harapan rakyat (baca: pasar) terhadap Jokowi demikian besar. Hal yang sama ditaruhpundakkan kepada SBY pada 2004, lalu 2009. SBY menjadi presiden dengan mayoritas 70 persen lebih pendukung pemerintahannya di parlemen. Pada saat ini pula gambaran antara harapan dan kekhawatiran terhadap Jokowi dibayangi oleh pengalaman masa lalu terkait SBY plus ditambah perseteruan Jokowi dengan parlemen yang dikuasai oleh oposisi. Bagaimana menyikapi dan gambaran pemerintahan Jokowi, pro rakyat atau pro partai politik dan kompromi politik?
Pada masa SBY, tahun 2004 harapan rakyat setinggi langit. Dengan dipilih dan memiliki legitimasi dukungan 65% seyogyanya SBY berani bertindak dan pro rakyat. Namun, karena SBY disandera oleh kepentingan politik dan golongan, dengan pembagian kue proyek-proyek APBN digodok di Banggar DPR, maka SBY terjebak menjadi presiden pembagi kue proyek untuk kepentingan para partai politik.
Banyak contoh kasus korupsi sebagai bagian dari pembagian kue proyek. Wisma Atlet, Hambalang menjadi contoh kasus pembagian kue proyek. Di luar itu kepentingan partai politik mengeruk uang dari kementerian terjadi di Kementerian ESDM, Agama, Pertanian, Pendidikan, Kehutanan, dsb. Maka tercipta politik transaksional yang realitanya dikuasai oleh para mafia di segala lini.
Pangkal terjadinya korupsi adalah penegakan hukum yang salah kaprah dan berkembangnya mafia di berbagai departemen dan bidang serta lembaga. Hampir tak ada institusi dan lembaga hukum dan negara baik legislatif maupun yudikatif yang terbebas dari korupsi dan cengkeraman mafia.
Akibatnya, pemerintahan SBY menjadi pemerintahan yang lemah yang tak memberikan hasil positif bagi peningkatan kesejahteraan rakyat. Pemerintahan SBY lebih dikenal dengan pemerintahan yang tak tegas membela kepentingan rakyat. SBY lebih membesarkan kroni, partai dan pengusaha demi keselamatan 10 tahun kepresidenannya.
Kini, Jokowi berada pada kondisi diharapkan melakukan perubahan. Jokowi memiliki kemiripan dengan Barack Obama pada 2008. Dipuja, diharapkan, sekaligus dicaci dan benci oleh dua kubu. Saking dipujanya, Barack Obama mendapatkan Nobel Perdamaian sebagai orang yang ‘berpotensi mengubah Dunia'. Hanya potensi.
Di sisi lain, Barack Obama memecah Amerika menjadi dua kutub: kubu McCain yang pro pengusaha dengan Barack Obama yang pro rakyat. Akibatnya perseteruan itu memaksa masa 4 tahun pertama pemerintahan Obama tak efektif.
Bahkan akibat politik balas dendam, program Obama tentang Healthcare atau kesehatan, dijadikan alasan dan tawar-menawar yang pernah menyebabkan layanan publik shut down: pemerintah tidak memiliki uang untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat Amerika. Kondisi politik ini baru mencair tahun ini. Angka pertumbuhan lapangan kerja menjadi meningkat menunjukkan angka pengangguran terendah selama 6 tahun.
Kini, Jokowi memiliki kerumitan dan tantangan yang sama dengan Obama. Diharapkan Jokowi akan pro rakyat, pro pasar. Bukti harapan pro pasar adalah gejolak BEI dan pasar uang ketika Jokowi terpilih. Gejolak terjadi dengan merosotnya rupiah - di samping faktor eksternal peningkatan suku bunga the Fed - dan anjoknya harga saham BEI ketika koalisi Prabowo menguasai parlemen, DPR dan MPR. Seperti Obama, media massa dan rakyat mendukung Jokowi.
Popularitas Jokowi menyihir tak hanya rakyat Indonesia, namun para pemimpin dan selebritas dunia pun menghormati Jokowi. Dari mulai Sting sampai Mark Zuckerberg pun kagum terhadap Jokowi. Bahkan John Kerry pun akan hadir di acara pelantikan Jokowi - sebagai wujud dukungan dan tekanan AS kepada kelompok koalisi Prabowo.
Namun, kenyataannya Jokowi akan mendapatkan tentangan dari DPR dan MPR terkait dengan program kerjanya. Kubu Prabowo seperti disampaikan oleh Hashim akan menjegal semua program karena akibat politik balas dendam. Kondisi ini akan berlangsung selama sekitar 2 tahun. Kesadaran dan kepentingan partai akan mengubah peta politik. Namun, tentunya harga yang harus dibayar adalah program-program pro rakyat tak akan cepat terealisasikan. Janji-janji kampanye Jokowi akan menghadapi penyesuaian karena kepentingan politik kubu Prabowo.