Siapa Jokowi, sikap politiknya dan apa makna kemunculan Kahiyang Ayu dan Gibran bagi Jokowi? Penulis jadi teringat pertemuan di Solo dengan Jokowi dan bincang-bincang dengannya tahun 2010 terkait keberhasilan mengubah Solo. Rupanya Jokowi memiliki konsep menjadikan Solo agar memiliki ‘karakter' sebagai pusat kebudayaan Jawa yang meredup dan kalah pamor dari Jogja. Terkait dengan kemunculan Kahiyang Ayu dan sedikit Gibran, sebenarnya mereka adalah gambaran dari ‘kedalaman' Jokowi dan Iriana tentu. Lewat Kahiyang Ayu dan Gibran, mari kita sedikit mengulas Jokowi yang sesungguhnya menyerupai Vladimir Putin, dengan bumbu latar belakang pilpres, dengan hati gembira ria.
Kini, Kahiyang Ayu dan Gibran sesekali diliput oleh media - namun tak mau diwawancarai. Mereka tampil nyaris tanpa kontroversi. Pun mereka tampil apa adanya. Kenapa tak mau diwawancarai media? Itu strategi politik keluarga Jokowi sejak menjadi Walikota Solo, Gubernur DKI, dan kini Presiden RI.
Ada yang menarik saat kampanye pilpres yakni terkait upaya mendongkrak popularitas Jokowi yang menurun dan kenaikan popularitas Prabowo yang tak bisa dihentikan. Sedikit digambarkan strategi lingkaran dalam Tim Kampanye beradu pendapat terkait strategi menaikkan popularitas Jokowi: salah satunya menggunakan anak-istri Jokowi sebagai daya tarik termasuk Kahiyang dan Gibran.
Dalam kampanye pilpres yang ketat antara Prabowo dan Jokowi, dalam Tim Pemenangan Jokowi-JK pernah timbul niat ‘menampilkan' Kahiyang Ayu untuk mendongkrak popularitas Jokowi yang menurun. Ada usulan mengekspos Kahiyang. Namun Ki Sabdopanditoratu menolak. Alasan Ki Sabdopanditoratu adalah ‘menyimpan Kahiyang dan Gibran' adalah ‘menampilkan Kahiyang dan Gibran dalam hati dan jiwa publik'. Artinya, dengan tidak diekspose maka mereka menjadi misteri.
Justru usulan Ki Sabdopanditoratu adalah mengekspos dan menampilkan pihak sana. Meliput dan menampilkan di mesia massa ‘keutuhan keluarga Prabowo-Titiek-Didiet'. Strategi menampilkan keharmonisan keluarga Prabowo-Titiek-Didit ini sungguh menguras energi Timses Prabowo-Hatta. Dari mulai pernikahan, gaya hidup, pekerjaan, dan kehidupan di empat kota Jakarta, Bangkok, Pattaya, Paris yang dilakoni oleh mereka dikupas media massa.
Berita simpang siur terkait Didit yang desainer di Paris yang masih sorangan wae sampai sekarang. Titiek yang menghadiri Paris Fashion Week, gaya hidup Didit yang antara Paris dan Jakarta menjadi santapan media. Wajah khas pria ‘designer' Didit Prabowo di Paris menghiasi media: namun Didit yang designer justru menjadi beban kampanye Prabowo. Titiek pun demikian.
Puncaknya: isu pernikahan atau rujuk Prabowo-Titiek dimunculkan media yang menyedot perhatian Timses Prabowo. Energi digerus. Terpaksa Prabowo-Titiek diruntung-runtungkan. Wacana pernikahan dibentuk oleh Fadli Zon, Hashim, Mahfud MD, bahkan Marzuki Alie. Isu persyaratan pemenangan presiden bahwa Prabowo akan kalah kalau tidak menikahi Titiek sebelum pilpres pun dijawab. Beberapa hari deadline oleh Ki Sabdopanditoratu sebelum pencoblosan agar Prabowo-Titiek rujuk menjadi berita di televisi. Bahkan kabar mengejutkan adalah isu Titiek-Prabowo rujuk yang akan disiarkan oleh RCTI. Hasilnya, mereka gagal rujuk. Maka seperti uraian mistis Ki Sabdopanditoratu, hanya dengan menikahi kembali Titiek, Prabowo menjadi presiden benar-benar terjadi: Prabowo kalah oleh Jokowi.
Nah, untuk Timses Jokowi, Ki Sabdopanditoratu sama sekali menghindari penyebutan Kahiyang dan Gibran. Kenapa? Karena dalam diri Kahiyang dan Gibran sesungguhnya ‘roh' cita-cita Jokowi berada. Nama anak-anak adalah gambaran imajinasi dan cita-cita orang tua. Demikian pula dalam nama Kahiyang Ayu dan Gibran terdapat mimpi dan gejolak Jokowi.
Meski lahir dalam keluarga berada - Jokowi hanya miskin ketika masih sekolah dan sebelum menjadi Walikota Solo sudah menjadi miliader dengan kekayaan lebih dari 20 M. Sandangan nama besar Presiden Jokowi pun sebenarnya tak penting bagi mereka. Mereka adalah diri mereka. Sifat, karakter, dan polah Kahiyang dan Gibran menggambarkan remaja akhir dewasa kelas menengah ke atas. Namun ada yang menarik. Psikologi memberi nama anak adalah gambaran orang tuanya. Tak terkecuali nama Kahiyang dan Gibran adalah gambaran Jokowi dan juga Iriana.
Kahiyang dan Gubran mengikuti arahan. Mereka menampakkan diri setelah pelantikan Jokowi. Sebelumnya mereka tiarap. Bagi Jokowi, muncul di media adalah penting. Namun bukan buat anak-anaknya. Pun istrinya juga tak banyak dimunculkan. Dari Kahiyang dan Gibran sesungguhnya siapa sesungguhnya Jokowi tampak.
Penamaan Gibran adalah hasil ‘penderitaan, laku belajar' Jokowi ketika masih menjadi mahasiswa. Jokowi banyak membaca puisi-puisi Kahlil Gibran. Pada masa mahasiswa kuliah di Jogjakarta itu Jokowi mulai bersentuhan dengan seni. Jokowi selain membaca buku, sering menonton penampilan Teater Gandrik, selain pegelaran musik rok yang sampai sekarang pun masih digandrungi.
Yang fenomenal dibaca oleh Jokowi adalah Sang Nabi karya Kahlil Gibran, selain beberapa cerpen karya Gibran tentang penderitaan dan hakikat kehidupan. Maka tak pelak Jokowi menamai anaknya Gibran. Dalam diri Jokowi mengalir dua hal: imajinasi kehidupan dan kenyataan kehidupan yang bermuara pada kesederhanaan. Namun kesederhanaan yang dimaksudkan bukan kekumuhan, penderitaan, kemiskinan, yakni etos kerja dan semangat perubahan.
Dari Kahlil Gibran itulah kesadaran ‘budaya Jokowi' yang sangat nasionalis. Dalam diri Jokowi hadir kesederhanaan yang disertai dengan ‘kebenaran untuk berjuang' dan ‘berbagi' dengan sesama. Meskipun menjadi pengusaha sukses, sikap sederhana itu tetap bertahan. Justru yang muncul adalah Jokowi yang memiliki kesadaran ‘sosial' tinggi yang peduli dengan sesama. Penyebabnya sekali lagi, salah satunya, buku dan puisi-puisi Kahlil Gibran.
Dengan kesadaran ‘budaya' itu, maka Jokowi tampil menjadi seorang yang memiliki kedalaman visi, misi, dan strategi yang cerdas dalam menjalani kehidupan. Terlebih lagi, menjadi pejabat publik, bagi Jokowi hanyalah upaya untuk berbagi dan mengubah kehidupan menjadi lebih baik bagi diri dan banyak orang.
Kecenderungan Jokowi adalah menyerupai Vladimir Putin yang nasionalis, tegas, dan konsisten demi rakyat. Seperti Putin, Jokowi pun tak menyukai plubisitas keluarga. Tak terkecuali Kahiyang Ayu dan Gibran pun tak akan pernah mau diwancarai dan menghindar dari spotlight media. Yang terpenting, bagi Jokowi dan juga Putin: bekerja demi rakyat dan negara. Dan tanda-tanda ketegasan Jokowi menyerupai Vladimir Putin itu telah muncul: tak lama lagi Jokowi akan menemui Putin dan kisah kejayaan Soekarno-Kruschev pun akan terjalin lagi dalam Jokowi-Putin.
Jadi, sesuai dengan terawangan Ki Sabdopanditoratu sejarah nama Kahiyang Ayu dan Gibran memberikan gambaran ‘kedalaman' Jokowi, karena nama anak-anak adalah gambaran cita-cita, kerinduan, harapan, dan wujud masa depan orang tua dalam diri anak-anak yang dipengaruhi oleh masa lalu, pengalaman hidup, filosofi hidup orang tuanya. Demikian pula gambaran Didit Prabowo adalah gambaran Prabowo dan Titiek.
Salam bahagia ala saya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H