Fahri Hamzah tampaknya akan semakin sulit membubarkan KPK. Sejak awal dia yang paling getol ingin membubarkan KPK. Ada apa? Sementara Setya Novanto malah lebih cool dan diam. Koalisi Prabowo telah dipreteli sesuai dengan rencana awal. Bagaimana Fahri Hamzah berteriak dan makna teriakan terkait sepak terjang Jaksa Agung Prasetyo, Ketua KPK, dan PPATK terhadap pendukung koalisi Prabowo? Dan, bagaimana Setya Novanto memainkan peran di DPR untuk kepentingan dirinya? Mari kita simak dengan hati gembira ria senang sentosa.
Tampaknya Fahri Hamzah dan Fadli Zon mengamalkan politik fenomena sementara Setya Novanto pengamal politik esensial. Kini semakin hari semakin kencang KPK - dengan tandemnya PPATK dan Kejaksaan Agung. Langkah terbaru KPK untuk membuka cabang KPK di daerah tahun 2016 tampaknya tak akan mendapatkan penentangan berarti dari DPR karena situasi politik telah berubah.
Fahri Hamzah, Fadli Zon dan Setya Novanto paham betul tentang strategi Jokowi. Penegakan hukum adalah salah satu strategi dalam grand design strategi. Salah satu langkah adalah memenjarakan sebanyak mungkin pendukung koalisi Prabowo. Setelah KH Fuad Amin Imron - yang akan menyeret banyak pihak orang di Jawa Timur dan Jakarta terkait dengan pasokan energi di Jawa Timur - maka langkah menyisir orang-orang Prabowo dilakukan.
Politik adalah kekuasaan. Kekuasaan adalah kekuatan ekonomi. Maka siapapun yang berkuasa dialah yang memiliki kekuatan ekonomi dan politik. Lingkaran politik, kekuasaan, dan ekonomi ini yang menentukan kehidupan partai politik. Kekuatan ekonomi yang salah menjerumuskan politikus menjadi politikus korup. Maka para politikus korup selalu berusaha menempel ke kekuasaan dan menghindari menjauh dari kekuasaan.
Melihat gelagat itu, Fahri Hamzah dan Setya Novanto mengambil sikap. Bagi Fahri Hamzah dan Fadli Zon, yang terpenting adalah bersikap asal berbeda. Sementara Setya Novanto lebih matang berpolitik. Sebagai politikus senior Setya Novanto lebih banyak membaca arah politik dan memainkan politik.
Fahri Hamzah hanyalah politikus jebolan kelas usroh dan pejuang klandestin gerakan dakwah kampus yang semasa rezim eyang saya Presiden Soeharto tak bisa berkutik. Teknik politik dan strategi yang dibangun adalah kepura-puraan. Artinya, mengalami penderitaan ditindas oleh eyang saya Presiden Soeharto telah membuat para politikus PKS seperti Fahri Hamzah dan juga Hidayat Nur Wahid melakukan politik balas dendam pada masa lalu: berkuasalah dan capai kekuatan ekonomi.
Susah ketika belajar di kampus membuat mereka ketika menjadi penguasa justru kehilangan sense of being a part of community dan kekuasaan telah membuat mereka lupa ajaran selain membungkus kekuasaan atas nama dakwah untuk para kader. (Kader PKS rajin urunan - ternyata di pentolan atas berbeda seperti ditunjukkan oleh Ustadzah Luthfi Hasan Ishaaq dan si wani piro Hidayat Nur Wahid.)
Maka fokus utamanya ketika sudah berkuasa elite PKS adalah memertahankan kekuasaan itu sedapat mungkin. Sepak terjang Hidayat Nur Wahid yang haus kekuasaan juga merupakan refleksi dari sikap sebagian besar pentolan PKS yang sangat berbeda antara teori kekuasaan dakwah ala PKS yang diejawantahkan menjadi ‘kekuasaan para elite politik tak akan bergeser'.
Itulah perhitungan Fahri Hamzah yang hanya berfokus kepada kepentingan dirinya dan pengelabuan ke kader di bawah tentang perjuangan dakwah - yang sebenarnya dakwah bukan hanya milik PKS. Pelintiran dan gap atau jurang pemisah ini tetap tak dipercayai oleh kader PKS karena ajaran taklid buta yang diterapkan. Apapun omongan elite - yang dibumbui dengan gelar ustadz - menjadi kebenaran ala samikna wa'atokna. Itulah yang membuat Fahri Hamzah berbicara seenaknya karena meyakini bahwa kader PKS telah 100 persen percaya kepada pentolan partai.
Lain dengan Setya Novanto. Orang kuat bernama Setya Novanto adalah kebal hukum. Tak akan mungkin KPK bisa menyeret Setya Novanto. Setya Novanto adalah dirijen saluran berkat dan proyek sejak lama di DPR. Sepak terjangnya sangat rapi dan brilian. Tak ada rekam jejak mencolok terkait korupsi. KPK pun pernah memanggil Setya Novanto dan Idrus Marham. Namun, pemanggilan itu tak menghasilkan apapun.
Sebagai politikus senior Setya Novanto tampil lebih dingin dan menghitung kekuatan. Arah politik ke depan dibaca oleh Setya Novanto. Pertama yang dia cermati adalah bahwa politik adalah kekuasaan. Kekuasaan kini berada di tangan Jokowi, bukan dirinya dan bukan pula Prabowo. Kematangan berpolitik Setya Novanto antara lain adalah kemampuan Setya Novanto mengatur komunikasi intelejen untuk melakukan bargaining position. Setya dan kalangan tertentu mengetahui mendalam seluruh jaringan informasi terkait kubangan korupsi yang dilakukan oleh politisi Golkar dan para partai koalisi Prabowo. Pernyataan Agung Laksono yang menyatakan Golkar Agung Laksono tidak dihuni oleh koruptor menindikasikan pemahaman yang nyata bahwa di tubuh Golkar banyak pentolan terlibat korupsi.
Aliran dan alur korupsi selalu terkait dengan proyek. Proyek itu dikapling-kapling oleh penguasa. Yang sekarang berkuasa memberikan proyek adalah penguasa dengan pucuk pimpinan Presiden Jokowi. Para pejabat dari mulai menteri sampai dirjen dan direktur utama BUMN bahkan para duta besar ditentukan oleh presiden. Perputaran ekonomi ada di sana. Di perputaran ekonomi itulah korupsi bisa terjadi. Aliran dana tercium kuat oleh PPATK. Setya Novanto sadar bahwa dekat atau jauh aliran dana tersebut tetap akan membahayakan dari segi penegakan hukum.
Maka ketika KPK melontarkan komentar tentang Setya Novanto, justru Setya diam saja. Kenapa? Setya paham betul tentang seluk-beluk korupsi terkait proyek dan komitmen. Yang justru berteriak adalah Fadli Zon dan Fahri Hamzah yang menantang KPK untuk menangkap para pimpinan DPR jika terbukti korupsi. Fadli dan Fahri tidak menghitung retaliasi dan perlawanan balik terkait pernyataan mereka dari KPK. Kini KPK tetap akan merangsek ke dalam jantung kekuatan koalisi Prabowo dengan memreteli para pendana pendukung koalisi Prabowo seperti KH Fuad Amin Imron, Fauzi Bowo dan juga Alex Noerdin setelah sebelumnya Nur Alam dicokok oleh KPK. Sebelumnya tentu Suryadharma Ali juga dicokok
Perhitungan politik-hukum dan hukum-politik yang dilakuan Setya Novanto lebih matang dibandingkan dengan Ratu Atut, Alex Noerdin, bahkan Fauzi Bowo yang lulusan Jerman. Setya Novanto mencengkeram Golkar dan isinya namun dia tidak terlibat di dalam permainan secara langsung. Setya Novanto lebih sebagai pengamal dan pengumpul pundi-pundi kekayaan secara tradisonal: sabar mendapatkan bagian kue ekonomi dalam investasi politik-ekonomi beberapa tahun dan tidak menonjolkan kekayaan pribadi.
Hal ini berbeda sekali dengan yang dilakukan oleh Luthfi Hasan Ishaaq yang merepresentasikan kondisi tersingkir dan miskin secara ekonomi dan tiba-tiba menjadi OKB alias orang kaya baru karena kesempatan politik. Hal yang sama dilakukan oleh orang-orang politikus kelas bawah seperti Anas Urbaningrum. Kaget melihat kue ekonomi dalam kekuasaan, maka korupsi menjadi daya tarik dan terjerembablah mereka.
Tampaknya Fahri Hamzah dan Fadli Zon tetap memilih laku serang sasaran sebagaimana dijanjikan oleh Ical dan Prabowo bahwa dalam satu setengah tahun sampai Oktober 2015, seperti yang diikrarkan oleh Hashim Djojohadikusumo, bahwa kekuasaan akan telah berganti kepada Presiden Prabowo melalui peran penting DPR dan MPR. Fadli dan Fahri lupa bahwa sebelum sampai ke sana, strategi politik-hukum dan hukum-politik Presiden Jokowi akan melumpuhkan koalisi Prabowo. Hal itu tampak sekali dengan dikoyaknya tubuh Golkar dan PPP dan posisi Demokrat yang disandera sendiri oleh SBY karena kasus Bank Century dan Hambalang. Posisi tawar lemah SBY dan Ical membuat lumpuh koalisi Prabowo. Setya Novanto tidak mengalami delusi dan ilusi seperti digambarkan oleh pentolan koalisi yakni Presiden Prabowo - meminjam istilah koruptor Muhammad Taufik.
Karenanya, dalam menghadapi fenomena politik Fadli Zon dan Fahri Hamzah bereaksi cepat alias reaktif tanpa esensi, sementara Setya Novanto menunjukkan diri sebagai politikus penuh perhitungan yang matang yang memahami rontoknya koalisi Prabowo - hal yang sama sekali tak dipahami oleh Fahri dan Fadli. Bagi Setya Novanto, kekuasaan nyata Presiden Jokowi lebih penting dari sekedar kekuasan ilusif dan delusif Prabowo. Setya Novanto juga melihat telah dan akan ditangkapnya para koruptor dari koalisi Prabowo sebagai peringatan dan pelajaran. Bahwa berpolitik adalah seni mengatur strategi. Itu dipahami oleh Setya Novanto namun bukan oleh Fadli Zon dan Fahri Hamzah.
Maka tandem KPK, PPATK, dan Kejaksaan Agung dalam pemberantasan korupsi merupakan ancaman nyata terhadap keutuhan koalisi Prabowo - dan itu telah terjadi. Berbeda dengan Setya Novanto yang memahami arah kekuasaan politik, Fadli Zon dan Fahri Hamzah adalah penganut politik fenomena dan bukan politik esensi yang dipercayai oleh Setya Novanto yang sangat matanng dalam politik. Bagaimana kelanjutan nasib Setya Novanto dan Fahri Haamzah dalam radar dekat tandem Kejaksaan Agung, KPK dan PPATK?
Salam bahagia ala saya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H