Aliran dan alur korupsi selalu terkait dengan proyek. Proyek itu dikapling-kapling oleh penguasa. Yang sekarang berkuasa memberikan proyek adalah penguasa dengan pucuk pimpinan Presiden Jokowi. Para pejabat dari mulai menteri sampai dirjen dan direktur utama BUMN bahkan para duta besar ditentukan oleh presiden. Perputaran ekonomi ada di sana. Di perputaran ekonomi itulah korupsi bisa terjadi. Aliran dana tercium kuat oleh PPATK. Setya Novanto sadar bahwa dekat atau jauh aliran dana tersebut tetap akan membahayakan dari segi penegakan hukum.
Maka ketika KPK melontarkan komentar tentang Setya Novanto, justru Setya diam saja. Kenapa? Setya paham betul tentang seluk-beluk korupsi terkait proyek dan komitmen. Yang justru berteriak adalah Fadli Zon dan Fahri Hamzah yang menantang KPK untuk menangkap para pimpinan DPR jika terbukti korupsi. Fadli dan Fahri tidak menghitung retaliasi dan perlawanan balik terkait pernyataan mereka dari KPK. Kini KPK tetap akan merangsek ke dalam jantung kekuatan koalisi Prabowo dengan memreteli para pendana pendukung koalisi Prabowo seperti KH Fuad Amin Imron, Fauzi Bowo dan juga Alex Noerdin setelah sebelumnya Nur Alam dicokok oleh KPK. Sebelumnya tentu Suryadharma Ali juga dicokok
Perhitungan politik-hukum dan hukum-politik yang dilakuan Setya Novanto lebih matang dibandingkan dengan Ratu Atut, Alex Noerdin, bahkan Fauzi Bowo yang lulusan Jerman. Setya Novanto mencengkeram Golkar dan isinya namun dia tidak terlibat di dalam permainan secara langsung. Setya Novanto lebih sebagai pengamal dan pengumpul pundi-pundi kekayaan secara tradisonal: sabar mendapatkan bagian kue ekonomi dalam investasi politik-ekonomi beberapa tahun dan tidak menonjolkan kekayaan pribadi.
Hal ini berbeda sekali dengan yang dilakukan oleh Luthfi Hasan Ishaaq yang merepresentasikan kondisi tersingkir dan miskin secara ekonomi dan tiba-tiba menjadi OKB alias orang kaya baru karena kesempatan politik. Hal yang sama dilakukan oleh orang-orang politikus kelas bawah seperti Anas Urbaningrum. Kaget melihat kue ekonomi dalam kekuasaan, maka korupsi menjadi daya tarik dan terjerembablah mereka.
Tampaknya Fahri Hamzah dan Fadli Zon tetap memilih laku serang sasaran sebagaimana dijanjikan oleh Ical dan Prabowo bahwa dalam satu setengah tahun sampai Oktober 2015, seperti yang diikrarkan oleh Hashim Djojohadikusumo, bahwa kekuasaan akan telah berganti kepada Presiden Prabowo melalui peran penting DPR dan MPR. Fadli dan Fahri lupa bahwa sebelum sampai ke sana, strategi politik-hukum dan hukum-politik Presiden Jokowi akan melumpuhkan koalisi Prabowo. Hal itu tampak sekali dengan dikoyaknya tubuh Golkar dan PPP dan posisi Demokrat yang disandera sendiri oleh SBY karena kasus Bank Century dan Hambalang. Posisi tawar lemah SBY dan Ical membuat lumpuh koalisi Prabowo. Setya Novanto tidak mengalami delusi dan ilusi seperti digambarkan oleh pentolan koalisi yakni Presiden Prabowo - meminjam istilah koruptor Muhammad Taufik.
Karenanya, dalam menghadapi fenomena politik Fadli Zon dan Fahri Hamzah bereaksi cepat alias reaktif tanpa esensi, sementara Setya Novanto menunjukkan diri sebagai politikus penuh perhitungan yang matang yang memahami rontoknya koalisi Prabowo - hal yang sama sekali tak dipahami oleh Fahri dan Fadli. Bagi Setya Novanto, kekuasaan nyata Presiden Jokowi lebih penting dari sekedar kekuasan ilusif dan delusif Prabowo. Setya Novanto juga melihat telah dan akan ditangkapnya para koruptor dari koalisi Prabowo sebagai peringatan dan pelajaran. Bahwa berpolitik adalah seni mengatur strategi. Itu dipahami oleh Setya Novanto namun bukan oleh Fadli Zon dan Fahri Hamzah.
Maka tandem KPK, PPATK, dan Kejaksaan Agung dalam pemberantasan korupsi merupakan ancaman nyata terhadap keutuhan koalisi Prabowo - dan itu telah terjadi. Berbeda dengan Setya Novanto yang memahami arah kekuasaan politik, Fadli Zon dan Fahri Hamzah adalah penganut politik fenomena dan bukan politik esensi yang dipercayai oleh Setya Novanto yang sangat matanng dalam politik. Bagaimana kelanjutan nasib Setya Novanto dan Fahri Haamzah dalam radar dekat tandem Kejaksaan Agung, KPK dan PPATK?
Salam bahagia ala saya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H