Petral sebagai salah satu anak perusahaan Pertamina dikendalikan oleh Riza Chalid. Melalui perusahaan Riza Chalid dan kroninya, memengaruhi kebijakan pejabat Indonesia untuk (1) tetap membeli minyak mentah di pasaran melalui trader, (2) mengoplos minyak RON 88 untuk dijadikan premium, (3) tidak membangun kilang minyak di Indonesia.
Keuntungan dari trading ini melibatkan angka pembelian minyak BBM sebesar Rp 276 triliun per tahun. Sementara subsidi BBM sendiri senilai Rp 246,49 triliun. Subsidi minyak sebesar itu tidak diketahui jelas dasarnya karena biaya pembelian melalui Petral dan biaya pengadaannya. Selain itu dispartas harga antara harga BBM bersubsidi dan harga industry membuat peluang penyelundupan dan penyelewengan minyak bersubsidi yang sengaja diciptakan.
Maka, karena nilai kejahatan yang luar biasa terkait pengadaan minyak yang melibatkan para mafia yang bekerjasama dengan seluruh unsur di atas, Faisal Basri tetap tidak bisa menjadatkan angka pasti biaya pengadaan BBM bersubsidi. Yang dapat ditemukan oleh Faisal Basri hanya ketidakjelasan standard harga RON 88 dan biaya pengoplosan dan distribusi.
Namun, jika dicermati, sebenarnya dengan menghitung besaran subsidi, harga pembelian RON 88 - misalnya yang disebut tak memiliki standard harga internasional - volume minyak non subsidi atau industri, produksi kilang Balongan sebesar 200.000 liter per bulan dan impor 3,5 juta liter per bulan, maka akan bisa ditelusuri peyelewengan minyak bersubsidi sebagai salah satu obyek permainan mafia migas. Faisal Basri hanya sampai di situ dan tak mengusik lebih dalam ‘transparansi harga BBM' yang tak pernah diungkap karena bagian dari permainan mafia. Para pejabat Pertamina jelas terlibat dalam permainan itu.
Faisal Basri pun tampak hanya terfokus pada Petral yang tetap tak akan dibubarkan, akan dipindahkan ke Jakarta kantornya dari Singapura. Faisal Basri harus juga mengendus regulasi kontrak migas, perusahaan kontraktor kontrak kerja sama, pembagian besaran hasil profit sharing yang merugikan Pertamina dan negara yang melibatkan banyak pihak seperti Pertamina, SKK Migas, Kementerian ESDM, Kementerian Kehutanan, dll. Itulah kekuatan para mafia, tak hanya di migas, namun juga di kehutanan, haji, tanah, hukum, dan daging yang semuanya memiliki pola yang sama.
Jadi, Faisal Basri pun harus kompromi dengan mafia migas dan tak mampu mengungkap mafia migas karena gagal (1) mengungkap besaran harga pengadaan BBM bersubsidi, yang digunakan sebagai dasar (2) angka pemberian subsidi BBM, lalu gagal (3) mengungkap kejahatan mafia di belakang Petral, dan gagal juga (4) memberikan data konkret kerugian negara akibat praktek mafia migas.
Sebagai konsekuensinya, Faisal Basri pun tak akan mampu memberikan data dan langkah awal adanya praktek mafia migas kepada KPK dan tak akan mengakibatkan satu orang pun ditangkap baik dari Pertamina, SKK Migas, pejabat, pengusaha, dan kroni mafia. Jadi Faisal Basri hanya berkompromi untuk memerbaiki sistem dan transparansi pengadaan dan usaha migas - tanpa tahu penyakitnya. Aneh bukan. Itulah kompromi.
Salam bahagia ala saya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI