Mohon tunggu...
Ninoy N Karundeng
Ninoy N Karundeng Mohon Tunggu... Operator - Seorang penulis yang menulis untuk kehidupan manusia yang lebih baik.

Wakil Presiden Penyair Indonesia. Filsuf penemu konsep "I am the mother of words - Saya Induk Kata-kata". Membantu memahami kehidupan dengan sederhana untuk kebahagian manusia ...

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Faisal Basri, Ron 88, dan Kegagalan Pemberantasan Mafia Migas

23 Desember 2014   14:41 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:39 1311
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Masuknya Faisal Basri memimpin Tim Pemberantasan Mafia Migas, awalnya, dianggap membawa angin segar. Namun, harapan itu tampak menjauh. Sebenarnya, tak hanya mafia migas, namun, semua mafia migas itu memiliki kesamaan dalam pola kerjanya: (1) ada patron, (2) ada pengusaha, (3) ada pejabat, dan (4) kadang, aparat keamanan. Pola ini selalu berlaku. Bagaimana korupsi dan mafia migas memiliki kesamaan pola kerja dengan mafia haji, mafia bansos, mafia pupuk dan mafia kehutanan? Dan apakah Faisal Basri berhasil mendapatkan temuan angka terkait ketidaktransparan pengadaan BBM bersubsidi? Dan, dapatkah temuan itu menyeret para mantan pejabat baik di Pertamina, SKK Migas, dan Kementerian ESDM? Mari kita telaah praktek para mafia yang sangat sederhana namun tampak sulit diberantas itu dengan hati senang bahagia sentosa riang gembira ria.

Mafia migas. Misalnya korupsi yang dilakukan oleh para gerombolan mafia migas. Riza Chalid adalah patron sekaligus pengusaha. Pengusaha Widodo Ratanachaitong dan Simon Gunawan. Pejabat tentu Kepala SKK Migas Rudi Rubiandini dan Jero Wacik dan Waryono Karno. Pola permainan antara ketiga unsur itu sudah jelas dan selalu seperti itu.

Intinya adalah sebagai berikut. Ada produk atau jasa yang diperdagangkan. Pejabat membuat kebijakan. Kebijakan menguntungkan pengusaha. Pengusaha membuat komitmen untuk menguntungkan pengusaha. Pihak ketiga (hanya sebagai perantara pencucian uang atau sebagai pengusaha kepanjangan patron) menerima dan menginvestasikan dana. Pejabat menerima dana dari pihak ketiga.

Dalam kasus korupsi professor ITB, Prof. DR Ir. Ing. H.M. Rudi Rubiandini, MSc, LH, MMC, seperti digambarkan di atas, Widodo Ratanachaitong dan Simon Gunawan hanyalah pengusaha kepanjangan tangan dari Riza Chalid. Rudi, Waryono Karno dan Jero Wacik sebagai pejabat pembuat kebijakan (sekaligus sebagai penerima dana suap).

Namun, Widodo yang banyak disebut dan patron lebih tinggi juga tidak disebut dan tak tersentuh hukum yakni Riza Chalid. Di lingkungan Kemernterian ESDM bukan hanya Waryono Karno yang terlibat. Yang lebih tinggi dan dipastikan tahu sepak terjangnya seperti Menko Ekuin Hatta Rajasa juga tak tersentuh.

Karena pola praktek mafia ini sangat transparan dan sederhana, maka pemantau berupa aparat keamanan Polri dan TNI pun terlibat. Lebih jauh lagi adalah anggota DPR - baik karena fungsi pengawasan dan fungsi anggaran dan pengavlingan proyek.

Sekedar contoh, pencurian minyak di Indonesia Timur wilayah Japalu (Jawa Papua Maluku) di laut baik karena kencing, maupun penyelewengan BBM bersubsidi banyak dijual di laut, mengungkap keterlibatan anggota Polri Aipda Labora Sitorus menyimpan uang bernilai triluanan rupiah. Labora Sitorus sejatinya hanyalah kasir bagi semua pihak. Aliran dana cash ke berbagai pihak sejatinya gampang ditelusuri yang mengarah kepada para pejabat seperti gubernur, bupati, pentolan militer, Polri, para anggota DPRD, dsb.

Kejadian serupa yang melibatkan banyak pihak seperti pencurian minyak - sebagai kaki tangan dari hulu dari patron tertinggi yang mengular ke bawah untuk menadah minyak - milik Pertamina. Ini contoh menarik. Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri telah menetapkan lima orang sebagai tersangka pencurian BBM milik PT Pertamina. Mereka adalah pengusaha minyak, Ahmad Mahbub; pegawai negeri sipil Kota Batam, Niwen Khairiah; pengawas senior PT Pertamina Region I Tanjung Uban, Yusri; serta prajurit TNI AL: Du Nun dan Arifin Ahmad. Kejadian serupa melibatkan KH Fuad Amin Imron. Anggota TNI, pengusaha. Kasus lain seperti mafia daging yang melibatkan ustadzah Lutfi Hasan Ishaaq, Ahmad Fathanah, Elizabeth Liman, dan indikasi Mentan Siswono pun menggambarkan pola kerja mafia yang sama. Kasus korupsi haji pun melibatkan Menteri Agama Suryadharma Ali, para anggota DPR, Dirjen Haji Anggito Abimanyu - yang berubah menjadi justice collaborator - pengusaha catering, hotel, travel, dsb.

Contoh permainan di migas sebenarnya dengan mudah bisa diendus dengan jelas. Temuan Faisal Basri terkait tidak adanya kejelasan biaya subsidi minyak karena besaran modal atau biaya dasar pengadaan BBM oleh Pertamina jelas dapat dijadikan pintu awal untuk menyeret para pejabat yang menikmati permainan ala mafia ini.

Bahkan disebutkan pembelian oleh Pertamina untuk jenis minyak RON 88 hanya dilakukan di Indonesia. Minyak RON 88 ini harus di-blended dengan jenis minyak lain untuk menghasilkan premium. Karena tak ada standard harga RON 88 di pasar Internasional, maka biaya pengadaan menjadi tidak jelas. Maka subsidi minyak pun menjadi tidak jelas. Maka peluang korupsi terbuka lebar.

Permainan mafia migas sudah diketahui dari hulu sampai hilir dengan pemain utamanya adalah Pertamina dan SKK Migas - dengan rangkaian kroni yang panjang dan bermuara pada pentolan penguasa migas bernama Riza Chalid. Sebenarnya

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun