Dengan bertekuk lututnya Ical, maka tamat sudah cerita skenario pendongkelan Jokowi oleh koalisi Prabowo yang diinisiasi oleh Hashim dan diyakini oleh seluruh pendukung koalisi Prabowo. Perlawanan secara frontal terhadap Jokowi ini digagalkan dengan strategi politik pecah-belah dan strategi penegakan hukum politik-hukum hukum-politik yang menghancurkan pendukung dan koalisi Prabowo. Kekuatan KPK, Kejaksaan Agung, dan PPATK dengan didukung intelejen ekonomi TNI, Polri, Imigrasi, dan BIN - itulah sebabnya penunjukan Kepala BIN ditunda agar pekerjaan segera bisa dilakukan - telah menghasilkan penangkapan terhadap banyak orang dan akan segera menjaring puluhan tersangka orang anggota koalisi Prabowo.
Rancangan lima strategi Ki Sabdopanditoratu untuk Presiden Jokowi benar-benar efektif mengakhiri kiprah koalisi Prabowo lebih cepat dari rancangan awal. Penyebabnya adalah Presiden Jokowi menunda penggantian kepala BIN dan Kapolri agar Presiden Jokowi dapat bekerja. (Jika Kepala BIN dan Kapolri diganti maka akan memakan waktu untuk konsolidasi.)
Jadi, dengan strategi jitu, Wapres Jusuf Kalla (1) memainkan politik pecah-belah Golkar sehingga (2) Presiden Jokowi merangkul dan memeluk Ical sampil menancapkan keris di pinggang Ical dan akibatnya (3) membenamkan kiprah politik Ical terakhir dalam koalisi Prabowo ke dalam Lumpur Lapindo. Maka Ical pun harus (1) berkompromi dengan Agung Laksono, dan (2) melemahkan dukungan kepada koalisi Prabowo yang diyakini kubu Agung Laksono tak memiliki kekuatan ekonomi dan politik yang merugikan banyak pejabat daerah berasal dari Golkar. Tamat Ical, tamat pula koalisi Prabowo.
Salam bahagia ala saya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H