Mohon tunggu...
Ninoy N Karundeng
Ninoy N Karundeng Mohon Tunggu... Operator - Seorang penulis yang menulis untuk kehidupan manusia yang lebih baik.

Wakil Presiden Penyair Indonesia. Filsuf penemu konsep "I am the mother of words - Saya Induk Kata-kata". Membantu memahami kehidupan dengan sederhana untuk kebahagian manusia ...

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Intoleransi di Jogjakarta Lunturkan Miniatur Indonesia

2 Januari 2015   03:45 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:00 527
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dulu. Ya. Dulu. Ngayogyokarto, atau Yogyakarta adalah wilayah penuh toleransi. Dulu. Ya. Dulu. Memang dulu sekali, semua agama dijaga dan dilindungi oleh Ngarso Dalem Sultan Hamengkubuwono, Sultan Jogjakarta sampai ke angka IX. Kini, Jogjakarta adalah kota penuh intoleransi kedua di Indonesia. Sangat disayangkan. Kenapa Jogjakarta berubah menjadi wilayah yang tak memiliki toleransi lagi? Mari kita tengok secara historis dan kultural toleransi dan intoleransi sejak zaman Mataram sampai kini menjadi Daerah Istimewa Jogjakarta dengan hati gembira ria.

Data terbaru, tahun 2014 terjadi paling kurang 21 pelanggaran dan kekerasan dan intoleransi di Jogjakarta yang dilakukan oleh suatu ormas. Tak ada satu pun kasus kekerasan itu yang ditindaklanjuti dan dilakukan pembiaran. Hal ini sangat disayangkan dan merusak reputasi Jogjakarta sebagai miniatur Indonesia.

Sejarah terbentuknya Mataram dan kelanjutan atau sisanya Jogjakarta dan Solo, adalah perebutan kekuasaan melalui kekerasan. Sejak zaman Pajang dan Mataram para pemburu kekuasaan saling bersaing dalam intrik politik dan persekongkolan berupa pembunuhan. Membunuh menjadi alat bagi terbentuknya kekuasaan Mataram yang diarsiteki oleh Ki Panjawi, Ki Juru Martani, dan Ki Ageng Pamanahan.

Maka menjadi sangat menarik ketika Belanda datang menguasai sebagian besar Nusantara. Hampir semua kerajaan bertekuk lutut kepada Belanda. Hanya sedikit wilayah kerajaan di Nusantara yang mampu bertahan menjadi sebuah negara merdeka: salah satunya Nagari Ngayogyakarto Hadiningrat, sementara Solo sudah menjadi budak Belanda dan kehilangan kedaulatannya sama sekali. Jogjakarta mampu menjadi sebuah negara yang makmur di bawah naungan Sultan Jogjakarta yang bergelar: Hamengkubuwono alias melindungi segenap tumpah darah berupa tanah air dan isinya rakyat di wilayah kekuasaan Sultan Jogja.

Sultan HB VIII mulai membangun peradaban dan menghentikan pembunuhan sebagai alat untuk berkuasa. Peradaban berbasis petani diubah menjadi peradaban ala priyayi dengan berbagai aturan dan tata-laku yang membuat Jogjakarta mendapatkan tempat lebih tinggi karena hanya sedikit kompromi dan mengabdi kepada Belanda - berbeda dengan Solo yang menjadi antek Belanda 100%.

Kemerdekaan dan kemakmuran Jogjakarta menjadi daya tarik perkembangan Jogjakarta yang dihuni oleh berbagai bangsa di Nusantara. Orang Arab, Ambon, Batak, Manado, Tionghoa, Makassar dan berbagai wilayah lain hidup di Jogjakarta. Maka Jogjakarta menjadi tempat hidup berbagai bangsa dengan karakteristik multicultural. Konsekuensinya, berbagai agama hidup di Jogjakarta. Toleransi terbangun dalam lingkungan budaya Jogjakarta. Bahkan untuk menghormati semua pemeluk agama, Sultan Jogajakarta tidak menunaikan ibadah haji. Hanya Sultan HB X saja yang menunaikan ibadah haji.

Sultan sebelum HB X, Sultan HB IX sangatlah komit terhadap kehidupan multi-agama dan kepercayaan. Semua agama dan keyakinan dan kepercayaan dilindungi oleh Ngarso Dalem dalam khasanah demokrasi dan perlindungan dan penghargaan kepada semua penganut agama dan kepercayaan. Maka, toleransi menjadi hal yang sangat dijunjung tinggi dalam lingkungan kehidupan bangsa Jogjakarta.

Jogjakarta selama puluhan tahun dijuluki sebagai Kota Pelajar, menjadi tempat berkembangnya usroh, LDII, Islam Jama'ah, penghayat kepercayaan, dan juga kegiatan berbagai agama seperti Katolik, Kristen, Islam Ahmadiyah, dan pusat perkembangan organisasi kemasyarakatan dan politik lainnya.

Reformasi 1998 mendatangkan radikalisme Islam dengan terbentuknya Laskar Jihad dan FPI. Jogjakarta yang telah lama menjadi home ground gerakan usroh lewat para mahasiswa di Jogjakarta - banyak mahasiswa luar daerah Jogjakarta menetap dan mengubah karakter Jogjakarta. FPI menancapkan kuku kuatnya di Jogjakarta.

Pada saat bersamaan kehadiran kelompok agama radikal yang dipimpin oleh FPI telah memengaruhi kebudayaan dan kehidupan Kraton Jogjakarta. Berbagai tradisi yang sebelumnya dipelihara, mulai ditinggalkan oleh Kraton Jogjakarta. Kraton Jogjakarta berkompromi dengan tekanan kelompok radikal yang semakin dominan. Sultan Jogjakarta HB X sebagai Pepunden gagal melindungi semua kelompok yang berbeda agama dan kepercayaan.

Kerukunan umat beragama yang terjaga selama masa kolonial dan pada zaman eyang saya Presiden Soeharto terkoyak. Kini Jogjakarta menjadi tempat berseminya radikalisme dan intoleransi yang Sultan HB X melakukan pembiaran atas nama kekerasan beragama. Kenapa?

Pertama, Sultan HB X kehilangan konsentrasi sebagai penguasa kebudayaan dan peradaban Jawa atau Jogjakarta. Sultan HB X lebih tertarik pada pembangunan fisik seperti mall dan pertumbuhan hotel, restaurant dan property dibandingkan dengan pembangunan dan pembinaan mental kerukunan antar umat beragama.

Kedua, kekuatan kelompok garis keras seperti FPI menjadi dominan di Jogjakarta. Jogjakarta menjadi tempat tumbuhnya radikalisme agama. Tekanan politik dan kultural oleh kalangan anti kerajaan seperti HTI sangat tumbuh subur di Jogjakarta. Sultan HB X pun membiarkan perkembangan tanpa kontrol yang memadai.

Ketiga, keberagaman rakyat Jogjakarta yang semakin multi-kulural dan multi-agama sebagai akibat multi-etnisme Jogjakarta, tidak diimbangi dengan penanganan dan perhatian penuh Sultan HB X sehingga menyebabkan perkembangan tak terkendali.

Keempat, kehidupan hedonisme di Kraton - dan kecenderungan diikuti oleh rakyat Jogja - dengan pusat kekuasaan dan ekonomi terpusat, menyebabkan perubahan orientasi dan prioritas Sultan HB dalam memerintah. Kehidupan multikulturalisme dan pembinaan antar umat beragama - untuk mencegah radikalisme agama - diabaikan dan hasilnya adalah auto pilot pemerintahan Jogjakarta.

Kelima, UU Keistimewaan Jogjakarta menyebabkan Sultan HB X dan keturunannya menjadi penguasa yang nothing to lose dan tak memiliki tekanan dan target Inilah yang oleh SBY hendak diberantas namun gagal. Feodalisme dan kekuasaan turun-temurun di dalam negara Indonesia yang oleh SBY dikhawatirkan tak akan memberikan manfaat selain status quo.

Jadi, dari sejarah kekerasan terbentuknya Mataram dan menyisakan Jogjakarta, kini gambaran Jogjakarta sebagai miniatur Indonesia yang menjujung tinggi toleransi menjadi luntur. Penyebabnya adalah pembiaran yang dilakukan oleh Hamengkubuwono X yang tidak konsen lagi terhadap sejarah kebesaran HB IX, dan juga pembiaran terhadap intoleransi di dalam masyarakat. Selain menguatnya radikalisme dan perkembangan geopolitik lokal dan geo-keamanan lokal yang telah bergeser dengan merebaknya kelompok radikal seperti FPI di Jogjakarta yang begitu dominan. Dan HB X pun ragu bertindak dan membiarkan intoleransi di wilayahnya.

Kami merindukan Jogjakarta yang toleran Sinuhun Dalem Kanjeng Ratu Sultan Hamengkubuwono Kaping X Sayidin Panatagama ingkang Jumeneng Ing Nagari Ngayogyokarto Hadiningrat.

Salam bahagia ala saya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun