Mohon tunggu...
Ninoy N Karundeng
Ninoy N Karundeng Mohon Tunggu... Operator - Seorang penulis yang menulis untuk kehidupan manusia yang lebih baik.

Wakil Presiden Penyair Indonesia. Filsuf penemu konsep "I am the mother of words - Saya Induk Kata-kata". Membantu memahami kehidupan dengan sederhana untuk kebahagian manusia ...

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Strategi Presiden Jokowi Berantas Mafia Pajak setelah Mafia Migas

8 Januari 2015   04:02 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:35 4368
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Meski belum tuntas, pemberantasan mafia migas telah menyentuh hal terpenting - tiarapnya para mafia untuk sementara. Setelah melakukan upaya pembenahan di sektor paling korup yakni migas, Presiden Jokowi melangkah untuk memberantas mafia pajak, yang menyebabkan tax collection ratio pajak hanya sebesar 52,7%. Pun target penerimaan pajak meleset dan hanya Rp 812 triliun dari target sebesar Rp 1,200 triliun. Bagaimana strategi Presiden Jokowi untuk memerangi mafia pajak yang sangat rumit dan melibatkan berbagai institusi itu? Mari kita telaah strategi melawan mafia pajak dengan hati riang gembira ria bahagia.

Kasus-kasus penyelewengan pajak yang bersumber dari pengadilan pajak dan wewenang kepala kantor pajak yang besar menjadi perhatian. Satu contoh kasus Gayus Halomoan Tambunan, pegawai pajak melibatkan para anggota Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, tentu institusi tempat Gayus berkiprah, yakni Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak.

Selain profiling para wajib pajak yang buruk oleh Dirjen Pajak, praktik korupsi di lingkungan Kementerian Keuangan termasuk Dirjen Pajak masih sangat tinggi. Ini menjadi bukti kekuatan mafia pajak dalam merongrong keuangan negara dari sektor penerimaan pajak.

Selain kasus Gayus, gambaran buruk kongkalilong pajak melibatkan banyak perusahaan besar. Yang paling spektakuler adalah dugaan pengemplangan pajak oleh perusahaan PT Bumi Resources Tbk, PT Arutmin Indonesia, dan PT Kaltim Prima Coal milik Grup Bakrie, juga terkait kasus royalti batubara yang juga melibatkan enam perusahaan tambang, termasuk dua perusahaan milik grup yang sama. Dirjen pajak waktu itu Mochamad Tjiptardjo melokalisir kasus hanya masalah pajak. Namun senyatanya pemasukan negara terkait royalti untuk negara dari perusahaan Bakrie sebesar masing-masing sebesar US $ 115,6 juta KPC dan US $ 68,6 juta kewajiban Arutmin.

Untuk kasus pajaknya sendiri negara dirugikan sebesar Rp 2,1 triliun akibat modus tidak membuat laporan penjualan sebenarnya. Kasus ini menguap karena intervensi berbagai pejabat dalam pemerintahan SBY. (Menteri Keuangan saat itu pun Sri Mulyani pun tak mampu mengintervensi masalah ini karena peran kuat Hatta Rajasa dan gabungan mafia pajak yang melibatkan lingkaran Dirjen Pajak, Kementerian Keuangan, Kejaksaan, Kepolisian yang sangat rapi dengan dukungan para pengusaha besar.)

Saking konyolnya, bahkan dikatakan bahwa persoalan kasus pajak Grup Bakrie disebut sebagai "Ini persoalan pajak saja," oleh Direktur Jenderal Pajak, Mochamad Tjiptardjo. Dia mengatakan, kasus yang melibatkan PT Kaltim Prima Coal, PT Bumi Resources Tbk, dan PT Arutmin Indonesia ini sama seperti kasus pajak lain.

Selain kasus itu, kasus yang paling heboh adalah Asian Agri yang merugikan negara sebesar Rp 13 triliun yang sudah menguap.

Gayus yang menghebohkan itu bukan hanya satu. Ada ratusan pejabat pajak dari mulai kroco pileg sampai level Dirjen Pajak ditengarai terlibat. Kasus Hadi Poernomo menunjukkan cara kerja mafia pajak bermain dan berkongkalikong antara pengusaha dan pejabat pajak. Peraturan, hukum, dan keputusan pejabat - terkait juga dengan BI - disalahgunakan.

Contohnya dalam kasus Hadi Poernomo yang merugikan negara dan menguntungkan BCA akibat keputusan Hadi Poernomo yang berlindung seolah-olah berdasarkan hukum yang benar. Padahal, Hadi Poernomo dan BCA secara bersama bersekongkol untuk menguntungkan BCA. Sistem penerimaan uang dilakukan seperti gaya Golkar melakukan korupsi - seperti yang mirip dilakukan oleh KH Fuad Amin Imron politisi Gerindra: menerima uang jauh setelah keputusan dan jasa dilakukan.

Selain Gayus, dan Hadi Poernomo - yang akan dikenai pasal pencucian uang TPPU (tindak pidana pencucian uang), atau menjadi justice collaborator untuk membongkar mafia pajak - ada contoh lain Dhana Widiatmika yang merampok uang negara dengan melakukan kongkalikong dengan berbagai perusahaan.

Modus operandi penyelewengan pajak yang melibatkan para pegawai pajak seperti yang dilakukan oleh Gayus, seperti gambaran praktis dan umum dalam kasus Mohammad Dian Irwan Nuqisra dan Eko Darmayanto. Kedua penyidik penyelewengan pajak ini justru melakukan tindakan bertentangan dengan hukum karena terima suap 600 ribu dolar Singapura. Uang itu sebagai suap untuk penyelesaian kasus pajak yang merugikan negara senilai Rp 301 miliar yang dilakukan oleh PT The Mastel Steel Manufactory. Modus ini berlangsung dari pusat sampai daerah dengan nilai triliunan sampai miliaran rupiah, bahkan hanya kisaran ratusan juta rupiah pun diselewengkan dan dijadikan bahan memerkaya diri.

Reformasi yang lama digulirkan oleh Menkeu Sri Mulyani dulu dengan menggaji pegawai kementerian keuangan gagal total. Gaji yang tinggi tidak menghalangi pegawai pajak untuk berhenti korupsi. Sejak masuk sekolah pajak dan STAN yang diucapkan ‘setan', dari sinilah awal belajar korupsi. Untuk masuk sekolah ke STAN diyakini sangat sulit. Yang paling banyak diterima adalah yang terkoneksi dengan para koruptor atau alumni. Cita-cita, dulu sebelum ada OJK, lulusan STAN akan masuk ke BI dengan take home pay sebesar Rp 30,000,000. Para lulusan STAN ini saling belajar dengan para seniornya - untuk melakukan korupsi.

Contoh para koruptor adalah teman-teman sekolah menengah yang bekerja di sektor pajak lulusan STAN. Bisa dibayangkan mereka memiliki kekayaan yang melebihi keumuman - saya sampai dikenal oleh mereka sebagai ‘jahat sama teman kecil' karena saya menjuluki mereka sebagai koruptor. Cara menyembunyikan harta mereka adalah menggunakan nama-nama orang lain untuk menggelapkan suap mereka. Itulah kesulitan membongkar kasus pajak.

Selain itu, yang terbongkar karena culun seperti kasus penyuapan yang merugikan negara sebesar Rp 21 miliar oleh PT Surabaya Agung Industri and Paper sejak tahun 2004 sampai 2007 kepada Denok Tavi Periana, Totok Hendrianto, dan Berty.

Melihat sepak terjang koruptor dan pengemplangan pajak tersebut, Presiden Jokowi menggandeng PPATK, Kejaksaan, KPK, BPK, Kepolisian, dan TNI, berbagai kementerian industri dan perdagangan, untuk membongkar penyelewengan pajak. Potensi penerimaan pajak selama ini hanya menunjukkan angka 52,7% dari seluruh potensi penerimaan pajak oleh negara. Kenapa?

Karena institusi pajak ini merupakan lahan korupsi mafia pajak dan tempat bercokolnya kepentingan antara pengusaha - yang tak jujur dan mengemplang pajak - dan pegawai pajak dari mulai Dirjen sampai anak buah membangun jaringan korupsi sejak masih di STAN sampai pensiun.

Untuk membongkar mafia pajak ini, Jokowi dipastikan akan menemui tentangan yang luar biasa. Pertama, kalangan yang kalah dalam pilpres yakni pengusaha pendukung Prabowo akan mati-matian untuk melindungi diri dari incaran penegakan pemberantasan mafia pajak dengan memperkuat jaringan koruptor di semua level perpajakan dengan mengeluarkan uang jaminan. Kedua, pengusaha yang mendukung Jokowi pun akan melakukan bersih-bersih diri dengan menguatkan pengaruh di dirjen pajak.

Level atau eselon yang disisir oleh para pentolan ini adalah eselon 1 sampai 3. Untuk menguatkan cengkeraman di bidang pajak ini - dengan menghambat kebenaran laporan pajak karena telanjur mengelabuhi seperti yang dilakukan oleh Bumi Resources, Arutmin, Asian Agri sebagai contoh - maka kelanggengan praktik manipulasi pajak akan tetap dilakukan. Maka kerja sama terpadu antar lembaga penegak hukum dan kementerian terkait akan sangat perlu dilakukan.

Strategi pengampunan pajak pun tak akan dilakukan oleh Presiden Jokowi karena justru menjadi peluang kongkalikong seperti yang pernah terjadi pada tahun 2010.

Maka untuk membongkar mafia pajak ini, Presiden Jokowi akan lebih banyak melakukan reformasi birokrasi dan penindakan selain upaya preventif. Pelibatan penyelesaian kasus pajak besar tak akan menjadi prioritas - sebagai upaya bargaining tukar-menukar politik. Justru penguatan pengawasan dengan melibatkan PPATK dan intelijen ekonomi akan lebih ditingkatkan. Dan, kita tunggu gebrakan Presiden Jokowi untuk memberantas mafia pajak yang mengganggu keuangan negara yang hanya mengakibatkan penerimaan pajak sebesar tax collection ratio hanya sebesar 52,7%.

Salam bahagia ala saya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun