Mohon tunggu...
Ninoy N Karundeng
Ninoy N Karundeng Mohon Tunggu... Operator - Seorang penulis yang menulis untuk kehidupan manusia yang lebih baik.

Wakil Presiden Penyair Indonesia. Filsuf penemu konsep "I am the mother of words - Saya Induk Kata-kata". Membantu memahami kehidupan dengan sederhana untuk kebahagian manusia ...

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Sisi Psikologi Tedjo, Fadli Zon, IQ Presiden Ulysses S Grant dan Rakyat Nggak Jelas dan Kayak Buruh

7 Februari 2015   20:58 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:38 533
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Menarik mengamati sisi psikologi Tedjo - yang serupa dengan Fadli Zon. Setelah Tedjo menyatakan bahwa pendukung KPK adalah ‘rakyat nggak jelas', kini Tedjo kembali menyampaikan bahwa karyawan KPK adalah ‘kayak buruh' - karena akan mengembalikan mandat kepada Presiden Jokowi. Mari kita telaah sisi psikologi Tedjo dan Fadli Zon dan IQ mereka yang melebihi Presiden Ulysses S Grant dengan hati gembira riang sentosa sepanjang masa bahagia ria.

Sisi psikologi Menteri Tedjo memang mirip dengan Fadli Zon. Namun, Tedjo tetap fenomenal. Bahkan Tedjo memang sefenomenal Susi Pudjiastuti. Bedanya, Tedjo ahli strategi memberikan pernyataan bernada miring; sementara Susi ahli strategi manajemen yang handal.

Fenomena pernyataan Tedjo justru sekelas dan mirip dengan pernyataan-pernyataan Fadli Zon yang profane jauh dari essesnsial. Setelah pernyataan Tedjo tentang ‘rakyat nggak jelas', kini bertambah menjadi karyawan KPK ‘kayak buruh saja'.

Dua pernyataan Tedjo itu memiliki makna secara psikologis bahwa para pendukung KPK dan para karyawan KPK dianggap berkasta rendah: buruh. Anggapan dan asumsi asimetris paralel ‘rakyat nggak jelas' dan ‘kayak buruh' menunjukkan pola pikir Tedjo yang unik: khas intelejensia Tedjo.

Dalam pemahaman Tedjo, rakyat terbagi menjadi beberapa golongan. Secara psikologis ada rakyat yang jelas - meminjam analogi terbalik adanya ‘rakyat tak jelas'. Rakyat yang tak jelas adalah pendukung KPK, yang jelas adalah lingkaran Tedjo dan pendukung Polri sesuai kepentingan Tedjo, dalam memberikan pernyataan.

Pemahaman Tedjo lainnya adalah ‘kayak buruh' dalam pikiran dan intelejensia Tedjo: buruh adalah kasta rendah. Buruh dianggap kelompok marjinal di luar lingkungan gemerlap kalangan Tedjo yang menteri dan ‘pejabat Istana Presiden' yang mentereng: menteri. Ya. Menteri bukanlah buruh; ‘kayak anggota kerajaan dan kalangan abdi Istana Kepresidenan'.

Pola pikir feudal Tedjo - yang lahir dan besar dengan indoktrinasi ala militer yang standard - menghasilkan pemahaman yang merendahkan kalangan buruh. Memang sejarah buruh adalah sejarah perbudakan. Buruh adalah kalangan kasta paling rendah di atas pengemis menurut pemahaman perbudakan. Sejarah pembayaran upah menunjukkan kata ‘pay day' bukan ‘payment day' menunjukkan sejarah betapa buruh adalah kelompok para orang yang berada di bawah kekuasaan majikan.

Pemahaman Tedjo yang sangat luas bak samudera Hindia, Pasifik, dan Atlatik menjadi satu dalam hal sejarah perburuhan dan feodalisme, mendorong Tedjo dengan tepat menyebut ‘rakyat tak jelas' dan kini, dengan asumsi psikologis di dalam kepala Tedjo menyebut karyawan KPK sebagai ‘kayak buruh'.

Yang sebenarnya, jika Tedjo mengatakan para karyawan KPK sebagai ‘buruh', itu tepat. Memang mereka adalah para buruh yang bekerja di bidang pemberantasan korupsi. Sama dengan Tedjo yang menjadi ‘buruh istana' dan mengabdi kepada Presiden Jokowi - alias pembantu Presiden. Karena Tedjo nempel dengan presiden maka banggalah dia disebut pembantu presiden. Analogi ‘pembantu' dan ‘buruh' di dalam kepala Tedjo berbeda tergantung tautan atributnya. Pembantu rumah tangga biasa secara jelas berbeda dengan pembantu Presiden Republik Indonesia.

Maka, akibat pemahaman double standard antara kata ‘pembantu presiden' yang dianggap berkasta tinggi karena ada atribut presiden dan ‘buruh KPK' karena hanya mengurusi para koruptor, maka status kayak buruh - bahkan dianggap buruh pun tidak, walaupun sebenarnya memang buruh, adalah gambaran kondisi psikologis Tedjo yang tak mampu membedakan antara pernyataan profane dan esensial; antara pernyataan untuk comfort dan confrontation. Akibat ketidakmampuan membedakannya maka secara praktis - karena selama ini hanya berpikir ‘Yes, Sir!', dan samikna waatokna, lu bilang gue jalankan - maka ketika terjadi kemelut di dalam pikiran, kekalutan itu secara serampangan dikembalikan dalam bentuk serangan. Kenapa?

Dalam militer, salah satu pertahanan terbaik adalah melakukan serangan: baik reaction, retaliation, preemptive attact, bahkan premature attack. Teori-teori seperti inilah yang memicu impuls psikologi Tedjo bergerak mengeluarkan pernyataan tersebut.

Sama seperti Tedjo, Fadli Zon pun terpola pikiran psikologisnya dalam lingkungan yang berbau militer. Fadli Zon setelah dibreading dalam kondisi disusui oleh inspirasi radikal Islam, berubah ke dalam inspirasi militer dengan patron Prabowo. Namun, berbeda dengan Prabowo yang benar-benar sebagai militer - namun cukup belajar dari ayahnya sang pemberontak Sumitro Djojohadikusumo - sehingga memiliki banyak pemahaman yang lebih luas dalam berbagai bidang.

Karena merasa berada di bawah perlindungan militer - yang sesungguhnya hanya kebanggaan semu semata; seperti Tedjo yang menganggap bekerja menjadi ‘pembantu Presiden' berbeda dengan ‘kayak buruh' atau juga ‘rakyat yang tak jelas' - maka Fadli Zon bersikap dan bergaya dalam memberikan pernyataan seperti gaya militer, padahal orang militer sendiri berusaha tampil sebagai ‘orang sipil'.

Karenanya, Tedjo dan Fadli Zon dengan bonus Fahri Hamzah, dipastikan merupakan sekelompok para manusia yang berada di luar diri mereka sendiri. Secara psikologi, mereka kehilangan koneksitas antara kenyataan diri mereka ‘siapa mereka' dengan kenyataan di luar diri mereka yang sangat luas dan sangat melebihi apapun kekuatan dan kekuasaan semu sebagai pembantu atau buruh yang kebetulan atributnya adalah pembantu presiden.

Tentang Fadli Zon, dia adalah buruh psikologis Prabowo dan merasa besar dan kuat karena tuannya yakni Prabowo. Tanpa Prabowo di belakangnya, Fadli Zon bukanlah apa-apa. Jadi Prabowo adalah atribut Fadli Zon, sama dengan Jokowi adalah atribut Tedjo sehingga mereka sesungguhnya bukan diri mereka: pribadi tanpa pribadi dan kerpibadian diri mereka.

Ditinjau dari aspek IQ dan ukuran kecerdasan, Tedjo dan Fadli Zon dipastikan memiliki kecerdasan di atas rata-rata. Untuk mengeluarkan pernyataan di luar logika rata-rata manusia umum diperlukan beberapa hal. Kecerdasan intelektual atau IQ Tedjo dan Fadli Zon dipastikan di atas IQ Presiden Amerika Serikat Ulysses S Grant. Atau bahkan di atas Adolf Hitler yang dipublikasikan oleh sekutu hanya ber-IQ 141 (suatu olok-olok dari bangsa Yahudi terhadapnya).

Omong-omong, by the way, berapa IQ Ulysses S Grant? Cari sendiri di Google dengan pencarian frasa Famous People IQ. Dan jangan bandingkan IQ Tedjo dan Fadli Zon dengan Leonardo da Vinci yang memiliki IQ 220 atau Wolfgang Amadeus Mozart yang ber-IQ 210. IQ Anda berapa - plus SQ dan EQ dan UQ?

Salam bahagia ala saya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun