Mohon tunggu...
Ninoy N Karundeng
Ninoy N Karundeng Mohon Tunggu... Operator - Seorang penulis yang menulis untuk kehidupan manusia yang lebih baik.

Wakil Presiden Penyair Indonesia. Filsuf penemu konsep "I am the mother of words - Saya Induk Kata-kata". Membantu memahami kehidupan dengan sederhana untuk kebahagian manusia ...

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

KPK Vs. Kapolri dan Strategi Jokowi Serupai Presiden Soeharto

8 Februari 2015   01:45 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:37 1122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Presiden Jokowi telah mendapatkan kekuatannya. Peta kekuatan yang tergambar dan digambarkan oleh Moeldoko dan BIN (yang tetap solid) telah menyebabkan Presiden Jokowi melawat beberapa hari ke Malaysia, Brunei dan Filipina dengan tenang. Perkembangan kisruh KPK versus Polri pun tidak menjadi semakin liar. Selama beberapa hari ini, kondisi akan semakin mendingin dan ketika Presiden Jokowi memutuskan tidak melantik Budi Gunawan - dan memilih calon Kapolri baru selain Budi Waseso - reaksi politik dan publik pun akan biasa.

Munculnya Brutus dan pengkhianat dan fenomena Effendi Simbolon. Presiden Jokowi lebih diuntungkan lagi dengan aneka perpecahan di antara elite PDIP seperti Effendi Simbolon, Hasto Kristanto melawan Trio Macan Istana (Luhut Panjaitan, Rini Soemarno dan Andi Widjajanto). Tingkak laku Hasto dengan data minim yang saling bertentangan tentang perilaku etik Abraham Samad, merugikan PDIP dan Ibu Mega. Seolah perilaku Hasto adalah kebijakan Mega.

Dengan adanya perpecahan pendukung Jokowi lebih memudahkan Presiden Jokowi menekan Trio Macan. Pun sikap politikus semacam Effendi Simbolon sudah tergambar jelas dan benar ketika Presiden Jokowi tidak memilih Effendi Simbolon sebagai menteri. Politik devide et impera gampang diterapkan oleh Presiden Jokowi - dan Jokowi tak perlu untuk merombak kabinet hanya karena nyanyian Effendi Simbolon dan Fadli Zon. Kenapa? Effendi Simbolon apalagi Fadli Zon bukanlah presiden dan hanya anggota DPR yang sama-sama kecewa. Effendi Simbolon gagal di Sumut; Fadli Zon gagal menjadi menteri karena junjungannya, tuannya, majikannya, Prabowo kalah dalam pilpres.

Tentang KPK sendiri, kini Jokowi tahu lebih banyak bahwa Presiden RI harus berpihak kepada KPK. Dikriminalisasikannya para pimpinan KPK menjadi tanda bahwa perlawanan para koruptor sangat masif. Tak hanya koruptor, para mafia (hukum, hutan, haji, illegal fishing) pun bermain lewat penyusupan di hampir semua lembaga dengan penerapan kontra-intelejen. Guncangan terhadap KPK ini akan mereda ketika Kapolri yang baru dilantik.

Jadi, kisruh KPK vs Polri telah banyak memakan korban - dengan penelanjangan diri baik di Polri, PDIP, Istana, DPR, KPK, dan lain-lain. Justru untuk Jokowi, kisruh itu telah membuka kekuatan dan kelemahan para pendukung dan penentangnya. Sekali lagi peran dan dukungan TNI dan BIN serta rakyat banyak plus media, telah menguatkan Presiden Jokowi yang berkarakter seperti eyang saya Presiden Soeharto - tenang, tidak panik, sabar, tegas dan licik.

Salam bahagia ala saya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun