Kongkalikong antara pejabat BPPN dan kementerian serta pengusaha dengan penyelesaian kewajiban debitur yang dibuat serampangan dan merugikan negara mendekati Rp 1,000,000 triliun telah dinikmati oleh begitu banyak orang. Bahkan sekarang mereka menjadi kalangan kaya-raya Indonesia untuk ukuran pejabat dengan kekayaan ratusan miliar disimpan atas nama kerabat jauh dan dicuci dengan mendirikan perusahaan.
Penegakan hukum ala Jokowi dan KPK serta Kejaksaan Agung seperti inilah yang mengkhawatirkan baik koalisi Prabowo maupun koalisi Jokowi. Maka tak mengherankan kubu PDIP dan NasDem dengan caranya getol untuk membuat perimbangan dengan menunjuk Budi Gunawan sebagai tameng politik-hukum - yang berada dalam arahan dan genggaman PDIP dan NasDem. Kondisi ini didukung penuh oleh DPR dari seluruh kubu.
Selain itu, kasus Century, Wisma Atlet, Hambalang tetap akan menghantui SBY dan anaknya si Ibas karena telah disebut dalam persidangan. SBY akan diam dan tak hendak ikut berkomentar karena dia sedang mengamati kekuatan Presiden Jokowi secara politis.
Kekuatan Polri. Polri ditelanjangi oleh Presiden Jokowi dengan pertunjukan aneka faksi di Polri yang saling bersaing. Sesungguhnya, jika PDIP dan NasDem sabar, Jenderal Sutarman tak perlu diganti. Kesetiaan Sutarman dalam mendukung Presiden Jokowi tak dapat diragukan.
Kini, dengan Badrotin Haiti - yang tidak dianggap oleh Budi Waseso - dan Budi Gunawan akan disingkirkan, maka Presiden Jokowi akan sepenuhnya memilih kalangan di luar Budi Waseso.
Jika bukan Badrodin Haiti yang dijadikan Kapolri, maka dapat dipastikan Kapolri definitif bukan Budi Waseso. Kenapa? Budi Waseso telanjur dikesankan menjadi alat bagi Budi Gunawan dengan menyerang KPK - yang sangat dinikmati oleh DPR. Presiden Jokowi akan mendapatkan Kapolri yang sepenuhnya loyal kepada Presiden Jokowi - bukan loyal kepada Megawati, atau Suryo Paloh misalnya.
(Pada awal kasus kisruh KPK vs Polri, Budi Gunawan tampak sangat kuat. Dengan didukung oleh DPR dan Budi Waseso, maka Polri berupaya tanpa terkendali melakukan kriminalisasi terhadap para pimpinan KPK. Maka, Budi Gunawan pun melakukan perlawanan dengan tidak mengizinkan para perwira Polri menjadi saksi di KPK untuk kasusnya.
Bahkan pelaporan terhadap Pandu, Zulkarnaen, dan bahkan Abraham Samad menjadi berita panas. Namun, itu hanya di permukaan. Kenapa? Kekuatan intelejen BIN tetap solid dengan didukung oleh kalangan BAIS dari TNI - dan dukungan penuh Moeldoko dan jaringan Ryamizard Ryacucu yang dekat dengan NU - menjadi penyeimbang langkah hukum Budi Gunawan dan Budi Waseso.
Bahkan, pencalonan Budi Waseso pun menjadi persis sama dengan Budi Gunawan akibat salah langkah menetapkan Bambang Widjojanto sebagai tersangka. Akibat penetapan itu, Presiden Jokowi dengan mudah menyingkirkan Budi Gunawan dan memilih antara Badrodin Haiti atau calon lain selain Budi Waseso.)
Maka kisruh KPK versus Polri telah menguntungkan Badrotin Haiti dan merugikan Budi Gunawan dan Budi Waseso - apapun hasil dari Praperadilan kasus Budi Gunawan yang akan diadili oleh hakim yang disorot karena sering membebaskan terdakwa korupsi. Jadi, akibat adalanya kisruh itu, calon kapolri menjadi terseleksi. Budi Gunawan dipastikan tak akan dilantik dan penggantinya yang disodorkan yakni Budi Waseso tak dikehendaki oleh rakyat. Dengan demikian Presiden Jokowi lebih mudah memilih Kapolri.
Dukungan kekuatan TNI dan BIN. Soliditas TNI dan BIN serta Kejaksaan Agung - di tengah sikap hakim Sarpin Rizaldi yang akan menguntungkan Budi Gunawan. Sebagai catatan, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pun pernah membatalkan status tersangka lewat praperadilan, putusan yang jelas menyalahi hukum acara pidana. Namun, dukungan Panglima TNI Jenderal Moeldoko dan Kepala BIN yang setia Marciano Norman serta sebagian besar intelejen di berbagai lembaga negara meyakinkan Presiden Jokowi untuk tidak melantik Budi Gunawan.