Mohon tunggu...
Ninoy N Karundeng
Ninoy N Karundeng Mohon Tunggu... Operator - Seorang penulis yang menulis untuk kehidupan manusia yang lebih baik.

Wakil Presiden Penyair Indonesia. Filsuf penemu konsep "I am the mother of words - Saya Induk Kata-kata". Membantu memahami kehidupan dengan sederhana untuk kebahagian manusia ...

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

KPK Vs. Kapolri dan Strategi Jokowi Serupai Presiden Soeharto

8 Februari 2015   01:45 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:37 1122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pekan depan dipastikan Presiden Jokowi akan membatalkan pencalonan Budi Gunawan. Gerakan mendekati musuh politik-hukum Jokowi - baik koalisi Prabowo maupun koalisi Jokowi as per Megawati - dan politik sabar dan cermat Presiden Jokowi selama hampir dua pekan membuka banyak hal. Langkah itu muaranya adalah Presiden Jokowi tengah menghitung kekuatan dan niatan politik yang sebenarnya. Presiden Jokowi dengan strateginya melemahkan (baca: menelanjangi kekuatan dan kelemahan) semua unsur yang mendukung dan menentangnya. Kini semua unsur kekuatan politik, ekonomi, Polri, KPK, DPR, TNI, koalisi Prabowo, koalisi Jokowi telah lebih telanjang. Mari kita telaah kecenderungan Presiden Jokowi dalam bertindak secara politis menyerupai strategi Presiden Soeharto dengan hati gembira riang bahagia senang sentosa sepanjang masa.

Tekanan terhadap Presiden Jokowi. Dengan kisruh KPK lawan Polri, awalnya menunjukkan bahwa Presiden Jokowi berada di dalam tekanan. Tekanan tersebut tergambarkan berasal dari koalisi Prabowo dan koalisi Jokowi yang tampak kompak mendesak dan menggulirkan Budi Gunawan sebagai Kapolri - meskipun telah dinyatakan sebagai tersangka.

Tekanan internal itu dianggap berasal dari Presiden ke-5 Mega, Kalla, Paloh. Tekanan eksternal koalisi Jokowi berasal dari tekanan terhadap hukum tentang Golkar, maka Aziz Syamsuddin menjadi corong keras pendukung pelantikan Budi Gunawan - dengan disertai ancaman interpelasi segala.

Namun semua itu mereda sedikit dengan pertemuan Prabowo-Jokowi. Baik koalisi Prabowo maupun koalisi Jokowi menyerahkan pelantikan Budi Gunawan kepada Presiden Jokowi - kali ini dengan tanpa ancaman interpelasi.

Bukan Jokowi jika tak membaca peta politik (baca: kekuatan orang per orang secara politik dan ekonomi) secara keseluruhan. Persis seperti eyang saya Presiden Soeharto, Presiden Jokowi mengulur-ulur waktu untuk mengamati situasai. Maka Presiden Jokowi pun mendapatkan gambaran yang lebih terang.

Peta kekuatan politik dan ekonomi. Presiden Jokowi dengan pengaruhnya mulai mencengkeramkan kekuasaan politik dan ekonomi. Orang-orang dekat Presiden Jokowi - dan itulah makna sesungguhnya kekuasaan yakni kekuasaan adalah kekuatan ekonomi - mendapatkan aneka jabatan dan juga kesempatan ekonomi: salah satunya OM Handropriyono yang menandatangani program mobil nasional bekerjasama dengan Malaysia.

Kekuasaan dan kekuatan ekonomi diberikan kepada orang kuat seperti Hendropriyono. (Hendropriyono yang orang BIN - sekali menjadi anggota BIN apalagi bos BIN maka akan selalu menjadi bagian dari BIN - maka akan sangat menguntungkan. Jaringan intelejen mampu memberikan masukan komprehensif kepada Presiden Jokowi. Kekuatan Hendropriyono dan Muchdi PR pun mampu merasuk ke segala lini baik TNI maupun Polri.)

Ketika kekuatan politik dimanfaatkan untuk kepentingan memercepat proses hukum orang tertentu - dengan harapan juga menyimpan kasus; dengan demikian harus menempatkan orang kepercayaan - maka Budi Gunawan dijadikan tameng untuk perlindungan terhadap rezim Megawati.

Pada mulanya Budi Gunawan ditolak oleh baik Gerindra dan Demokrat, namun ketika unsur kepentingan di balik penunjukan Budi Gunawan secara keamanan politik menjanjikan, maka Gerindra dan Demokrat pun memilih mendukung Budi Gunawan dilantik - padahal sebelumnya Gerindra menentang pencalonan Budi Gunawan.

Kini, setelah Presiden Jokowi memberikan jaminan konsesi dengan tidak akan membentuk pengadilan dan penyelesaian kasus HAM berat, maka Prabowo berdiri mendukung Presiden Jokowi. Sikap Presiden Jokowi ini tepat karena tak memberikan manfaat apapun untuk mengusik kasus peti es peristiwa 1998. Pun, penyelesaian kasus 1998 akan menghantam banyak orang termasuk pendukung Presiden Jokowi.

Justru, sebagai contoh, penyelesaian kasus BLBI tetap akan diusik oleh Presiden Jokowi dengan KPK - hal inilah yang merisaukan kalangan PDIP - yang menyebabkan orang seperti Hasto Kristanto secara amatiran ingin menjerumuskan Abraham Samad dan KPK. Kasus BLBI banyak dinikmati oleh para pengusaha, banker, dan pejabar BI yang korup dan juga para pejabat BPPN pada waktu itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun