Ini perkembangan terakhir terkait pelantikan Budi Gunawan. Kita tahu, Presiden Jokowi saat ini tengah mengalami kebimbangan luar biasa dengan tekanan politik-hukum. Budi Gunawan pun bertemu Presiden Jokowi di Istana Bogor dan Istana Negara Jakarta dua hari lalu dan semalam (17/02/2015). Pertemuan pertama adalah Jokowi memberi ucapan selamat kepada Budi Gunawan atas kemenangannya di praperadilan. Pertemuan kedua di Istana Negara yang luput dari incaran media. Selain itu rangkaian pertemuan dan rekomendasi yang saling berlawanan. Kubu PDIP dan NasDem dan para parpol dan DPR memaksa pelantikan serta kubu rakyat dan Tim 9 atau Tim Independen yang mencegah Jokowi melantik Budi Gunawan. Mari kita telaah kondisi psikologi Presiden Jokowi terkait pertimbangan untuk tidak melantik Budi Gunawan dengan hati riang gembira bahagia senang sentosa.
Gonjang-ganjing politik pelantikan Budi Gunawan adalah karena persaingan kepentingan. Satu sisi pembela kepentingan kelompok, satu sisi lagi kepentingan rakyat dan kebenaran. Tekanan psikologis terhadap Presiden Jokowi yang berat itu sebenarnya bisa diatasi dengan cara kompromi yakni (1) Budi Gunawan mengundurkan diri, (2) Presiden Jokowi melantik Budi Gunawan, (3) Budi Gunawan tidak dilantik. Pilihan pertama tidak terjadi. Pilihan melantik dan tidak melantik memiliki risiko yang sama yang arahnya ke impeachment alias pemakzulan.
Pilihan pertama. Melantik Budi Gunawan, nama Presiden Jokowi akan hancur. Rakyat mengendorkan dukungan mereka. Ini skenario jebakan untuk memakzulkan Presiden Jokowi. Melalui berbagai rekayasa politik di DPR, berbagai program Presiden Jokowi akan dikritik dan dipojokkan. Pembangunan opini mengarah pembunuhan karakter akan dilakukan. Kasus-kasus lama akan dimunculkan seperti kasus TransJakarta pun akan direkayasa sedemikan rupa dengan memanfaatkan kesaksian Udar Pristono. Hal ini sama dengan yang dilakukan oleh Polri untuk menjerat Bambang Widjojanto dengan meminta kesaksian terpidana seumur hidup Akil Mochtar.
Pilihan kedua. Tidak melantik Budi Gunawan.Gelora rakyat akan mendukung Presiden Jokowi. Namun, saat yang bersamaan PDIP dan DPR akan kencang menjungkalkan Presiden Jokowi dengan berbagai alasan. Alasan pemakzulan itu antara lain (1) Presiden Jokowi melakukan pelecehan terhadap lembaga DPR sebagai perbuatan tercela, (2) Presiden Jokowi melakukan perbuatan tercela dengan pencemaran nama baik Budi Gunawan, (3) Presiden Jokowi melakukan tindak pidana korupsi TransJakarta.
Semua itu dengan gampang akan dilakukan dalam rekayasa untuk melakukan pemakzulan terhadap Presiden Jokowi. Meskipun hal itu sulit, namun akan dilakukan. Contoh kriminalisasi terhadap Bambang Widjojanto dan Abraham Samad dan komisioner KPK lainnya seperti Pandu, Zulkarnaen, dan Johan Budi menjadi contoh. Selain tentu kemenangan praperadilan Budi Gunawan adalah contoh betapa kuatnya sekarang ini upaya membawa Indonesia ke kancah tidak ada kepastian hukum alias chaos. Peradilan pun memihak pada kekuatan anti rasuah dan mengedepankan kepentingan pribada dan pemilik modal kekuatan politik, uang dan ekonomi.
Kegalauan Presiden Jokowi sebenarnya tak perlu berlarut. (Salah satu yang bisa dijadikan pegangan bagi Jokowi untuk tidak melantik Budi Gunawan adalah dukungan rakyat dan TNI serta BIN. Ini yang seharusnya membuat Presiden Jokowi tegas.) Untuk menenangkan Presiden Jokowi berikut ini Ki Sabdopanditoratu memberikan contoh sejarah yang bisa dijadikan tamsil kekuatan tentang makna politik. Ini tentang kisah Ken Arok dan Ken Dedes.
Kisah Ken Dedes dan Ken Arok bisa dijadikan tamsil untuk melihat permasalahan politik secara luas. Ken Dedes yang tertekan batinnya melakukan politik kompromi ketika ditekan oleh Ken Arok. Ken Dedes dipaksa menikahi Ken Arok sang penguasa baru yang membunuh Akuwu Tunggul Ametung melalui Kebo Ijo. Sementara dalam kandungan ada jabang bayi anak Akuwu Tunggul Ametung.
Ken Dedes sabar dan menerima perlakuan itu. Namun, di dalam jiwa dan batinnya, Ken Dedes merancang pembunuhan terhadap Ken Arok. Anusapati dan anak-anak Ken Umang digerakkan oleh Ken Dedes untuk bersatu padu untuk pada akhirnya mampu membunuh Ken Arok. Dendam keadilan dan kebenaran Ken Dedes dan Ken Umang terbalaskan.
Sementara itu, Ken Arok adalah politikus dari pinggiran. Ken Arok diyakini memiliki darah sama dengan Ken Dedes yakni anak hasil perselingkuhan pendeta dari India dengan kalangan Kerajaan Kediri. Ken Dedes dikenal jelas sebagai anak Mpu Purwa. Sementara Ken Arok dipelihara oleh para bandit dan perampok. Ken Arok dibuang oleh orang tuanya di sebuah kuburan keramat.
Dalam menggalang kekuatan politik, Ken Arok menyertakan tiga unsur yakni (1) kalangan cerdik pandai dan para mpu atau empu alias pendeta seperti Lohgawe dan Mpu Purwa, (2) kalangan para pemimpin keamanan seperti Kebo Ijo, (3) kalangan bangsawan penguasa kerajaan Kediri.
Dengan kalangan cerdik pandai Ken Arok membuat stigma bahwa dirinya keturunan Dewa Brahma. Bahwa dia keturunan Mpu. Bahwa dia adalah putra dewa dan bahkan penjelmaan dewa. Dengan afirmasi para cerdik pandai - yang dipaksa oleh Ken Arok untuk menyebarkannya - maka Ken Arok dianggap titisan dewa. (Sama halnya dengan Presiden Jokowi yang didukung oleh Tim 9 atau Tim Independen, Jokowi memiliki sandaran kebenaran yang dipercayai oleh rakyat. Tidak melantik Budi Gunawan adalah kehendak kebenaran dan rakyat.)
Dengan kalangan pemimpin pengawal seperti Kebo Ijo sang pengawal Akuwu Tunggul Ametung, Ken Arok berhasil masuk menjadi pengawal Tunggul Ametung. (Presiden Jokowi pun bisa melihat dukungan TNI dan BIN sebagai kekuatan untuk melawan DPR jika DPR akan bertindak untuk melakukan kriminalisasi terhadap Presiden Jokowi.
Dengan kalangan bangsawan dan penguasa Kediri, Ken Arok menjalin kerjasama untuk memerkuat posisi dirinya. Dengan mengetahui kekuatan sesungguhnya, Ken Arok, setelah menumbangkan Akuwu Tungggul Ametung, menyerbu Kediri dan Tumapel berdiri menjadi Kerajaan Singasari. (Presiden Jokowi dalam hal ini hanya bisa mengandalkan kekuatan media sosial dan dukungan media massa; alias dukungan real masyarakat. Selain media, maka KPK dan Kejaksaan Agung juga bisa memerkuat posisi Presiden Jokowi. Kebobrokan para anggota DPR dalam kasus mafia haji, mafia migas, dan aneka kongkalikig lainnya yang sedang disidik oleh KPK, akan menjadi catatan untuk memerkuat posisi Presiden Jokowi.)
Jadi, benar kata Buya Syafe'I Ma'arif. Melantik atau tidak melantik Budi Gunawan, Presiden Jokowi tetap berisiko untuk dijatuhkan. Nah, kini pilihannya adalah Presiden Jokowi masih didukung oleh TNI dan BIN serta rakyat dan media sosial. Maka, tak ada alasan untuk ketakutan menolak dan membatalkan pelantikan Budi Gunawan sebagai Kapolri. Presiden Jokowi harus bertindak seperti Ken Arok dan Ken Dedes dalam memahami politik dan kekuasaan. Itulah nasihat dari terawangan Ki Sabdopanditoratu.
Salam bahagia ala saya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H