Jagad twitter akhir-akhir ini memuat banyak konten politik di dalamnya. Mulai kampanye tentang kelebihan pasangan calon yang akan bertarung, sampai perang tagar yang terus terjadi. Hal inilah yang mengubah pesona twitter yang notabene diciptakan untuk media curhat menjadi lading elektoral yang potensinya tak terbatas.Â
Tentu hal ini berdampak pada cita rasa twitter yang tak lagi bersahabat, berubah menjadi lading perang para politikus dan simpatisannya. Dan keberadaan twitter yang sedemikian rupa ini menimbulkan pro-kontra nya sendiri. Apakah itu?
Menjadi Komoditas Politik Paling Efektif
Pergerakan twitter sebagai komoditas politik dimulai dengan adanya akun-akun pimpinan sebuah instansi negara yang menyediakan diri untuk menerima pelaporan via twitter. Mengapa twitter?Â
Karena dengan platform inilah para pengadu dapat hemat menggunakan kata-kata sebagai pengaduan dan menjadikannya media paling efektif dalam proses politik transparan.Â
Dengan trend semacam ini, banyak politikus yang mengintip jagad twitter sebagai media efektif pula untuk menyebarkan visi-misi mereka menjelang kontestasi politik yang ada.
Contoh efektifitas dari platform twitter dalam ranah ini adalah ketika Jokowi-Basuki dapat memenangkan Pilkada DKI Jakarta pada 2012. Mereka maju dengan tingkat electoral minim, namun mampu meningkatkan elektabilitasnya secara instan dengan platform twitter.Â
Kemudian tahun 2016, Donald Trump dapat memenangkan Mission Impossible melawan Hilary Clinton dalam kontestasi pemilihan Presiden Amerika. Dan terakhir, kemenangan Anies-Sandi yang menggunakan platform ini sebagai sumber aktivitas relawan sanggup mengalahkan Basuki yang notabene memiliki modal Tingkat Kepuasan Kerja di atas gubernur-gubernur DKI Jakarta sebelumnya.
Pola inilah yang kemudian kembali terjadi pada kontestasi Pilpres 2019. Banyak buzzer-buzzer politik yang berterbangan dalam jagad twitter yang menjadikannya lebih bercita rasa politik dari sebelumnya. Twitter menjadi medan perang visi-misi sampai penebaran isu-isu bahkan jauh sebelum kontestasi politik dimulai. Twitter semakin berasa politis ketika tagar menjadi tolok ukur electoral yang valid dari kedua kubu. Dan twitter menjadi semakin politis, tak lagi komersil ataupun personil lagi.