Pendidikan merupakan salah satu layanan dasar yang memang sudah menjadi hak warga negara. Dalam preambule UUD 45 disebutkan tujuan Negara Indonesia salah satunya “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Agar tujuan ini dicapai, dalam pasal 31 ayat 4 UUD 1945 disebutkan “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional”. Dengan memperhatikan sektor pendidikan, harapannya generasi muda terbaik akan tercipta untuk Indonesia yang lebih baik.
Besaran alokasi anggaran pendidikan tahun ini menjadi Rp 419,2 triliun dan sebagian besar untuk layanan pendidikan. Pemerintah sudah menetapkan wajib belajar 9 tahun yang artinya membebaskan layanan pendidikan dari berbagai macam tarikan biaya atau pungutan. Komitmen itu tertuang dalam Undang-undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 6. Di ayat (1) tertulis Setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar. Sebagai konsekuensi, pemerintah dalam pasal 11 ayat (2) secara tegas menjamin layanan pendidikan. Klausul itu berbunyi, “Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun”.
Larangan pungutan disebut secara jelas pada pasal 9 ayat 1 yakni “Satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh Pemerintah, dan/atau pemerintah daerah dilarang memungut biaya satuanpendidikan”. Sedangkan untuk sumbangan pada satuan pendidikan masih diperbolehkan (“satuan pendidikan dasar dapat menerima sumbangan”/Ps 12 ayat 2 Permendikbud 44 Tahun 2012). Adanya klausul ini banyak dipolitisasi oleh penyelenggara pendidikan. Masyarakat dibuat tidak paham atas berbagai pungutan dengan dalih sumbangan yakni memberi judul “tarikan/iuran/ donasi” pada sekolah dengan judul pada surat yang diberikan pada orang tua siswa bernama “sumbangan”. Padahal jelas sekali pengertian antara pungutan dan sumbangan yang disebutkan pada permendikbud tersebut.
Praktik Sumbangan di SMPN 8 Solo
Meski demikian, ada kabar baik tentang salah satu sekolah, yakni SMPN 8 Surakarta Jawa Tengah mampu menerapkan metode sumbangan sesuai peraturan. Hal ini diamati waktu penyelenggaraan Sosialisasi Program Kerja Komite Sekolah Tahun Pelajaran 2015/2016 pada hari Rabu 24 Agustus 2016. Pada sessi awal sekolah menguraikan tidak hanya capaian sekolah (prestasi akademik. nonakademik), target tahun berjalan, rencana program tetapi juga rencana pendapatan baik dari BOS Nasional, bantuan propinsi hingga bantuan anggaran kota (Bantuan Pendidikan Masyarakat Kota Surakarta/BPMKS). Drs Nugroho MPd selaku kepala sekolah lebih menekankan manfaat program bagi siswa didik. Dari perhitungan rencana kegiatan dan rencana pendapatan, ternyata masih kekurangan biaya. Di sinilah Ketua Komite Sekolah (Drs Bintoro) menekankan perlunya dukungan orang tua siswa.
Teguhnya sang Kepala Sekolah untuk mengimplementasikan mekanisme sumbangan tidak hanya soal komitmen namun juga 1,5 tahun belakangan SMPN 8 Surakarta mendapat pendampingan dari Yayasan Satu Karsa Karya (YSKK) Solo. LSM ini mendorong satuan pendidikan untuk memiliki dan menjalankan tata kelola yang transparan, akuntabel maupun partisipatif. Implementasi ini menunjukkan bahwa mekanisme sumbangan bisa dijalankan dan dapat memenuhi rencana program sepanjang sekolah dan komite sekolah mampu menjelaskan rencana secara rasional maupun mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran secara terbuka.
Kompasianer
Artikel ini diikutsertakan pada Kompetisi Menulis Blog Inovasi Daerahku - https://www.goodnewsfromindonesia.id/competition/inovasidaerahku
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H