Mohon tunggu...
Nino Histiraludin
Nino Histiraludin Mohon Tunggu... profesional -

Mencoba membagi gagasan. Baca juga di www.ninohistiraludin.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Berharap Masih Ada Buku Revolusi dari Desa (Jilid 2)

19 November 2014   17:46 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:24 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14163201861006101849

Membaca gagasan Bupati Malinau, DR Yansen TP, MSi dalam buku "Revolusi dari Desa" sebenarnya cukup mengasyikkan. Kita dituntun menyusuri pengetahuan-pengetahuan praktis tentang peningkatan kapasitas masyarakat desa. Bukan sekedar cerita indah melainkan membayangkan betapa bahagianya masyarakat di Kabupaten Malinau Propinsi Kalimantan Utara.

Apalagi pasca penetapan Undang-undang No 6 Tahun 2014 Tentang Desa, semakin meneguhkan bahwa desa-desa Kabupaten Malinau telah siap mengelola Alokasi Dana Desa yang besarannya sekitar Rp 1,4 M/desa/tahun. Penerapan otonomi daerah sejak tahun 1999 melalui UU No 22/1999 kemudian direvisi menjadi UU 32/2004 menegaskan daerah memiliki kewenangan mengatur daerahnya. Nampaknya hal ini difahami betul sebagai pemberian mandat seperti dari kabupaten ke desa oleh bupati.

Rupanya di Tahun 2012, Pemerintah Kabupaten Malinau melakukan gebrakan dengan melimpahkan otonomi ke desa dengan nama program Gerakan Desa Membangun (GERDEMA). Dari sisi tata bahasa, kata "Gerakan Desa Membangun" menempatkan DESA sebagai subyek pembangunan, menjadi kunci utama, fokus yang memang memegang peranan penting. Makna desa tentu tidak sekedar masyarakatnya (Pemerintah Desa, LPM, BPD, Petani, Guru dan lainnya), namun juga ekonominya (pasar desa, pertanian, koperasi), budayanya (tari, bahasa, perilaku, adat istiadat, tradisi)  dan beragam hal lainnya fokus pada peningkatan perbaikan/kesejahteraan desa.

Di era otonomi daerah tidak banyak banyak kepala daerah yang memiliki inovasi dengan memfokuskan pada masyarakat desa. Banyak kepala daerah melakukan inovasi dibidang pelayanan sebut saja Sragen saat dipimpin Untung Wiyono (Pelayanan satu atap), Tri Rismaharini/Surabaya (Perbaikan Taman), Ridwan Kamil/Kota Bandung (penciptaan ruang publik), Dr I Gde Winasa/Jembrana (Pendidikan gratis 12 tahun) dan masih banyak lagi.

Berarti DR Yansen TP, MSi melakukan terobosan yang tepat serta belum ada yang melakukannya. Belum lagi Tahun 2014, UU Tentang Desa disyahkan sehingga secara tidak langsung beliau menata, melatih serta menyiapkan masyarakatnya. Dengan bahasa lain, beliau memiliki pemikiran visioner sehingga gebrakan GERDEMA mendahului UU Desa tersebut. Konsep ini sangat dikuasainya karena selain memang terlahir di Malinau kemudian mulai mengabdi di Malinau sejak 1993 sebagai Camat hingga kini menjadi orang nomor satu di Malinau.

Implementasi GERDEMA

GERDEMA menginduk pada Visi Misi Kepala Daerah 2011 - 2016 yaitu "Terwujudnya Kabupaten Malinau Yang Aman, Nyaman dan Damai Melalui Gerakan Desa Membangun" (Hal 19). Adapun implementasinya dapat digambarkan langkah-langkah strategis DR Yansen TP, MSi sebagai berikut :

1. Menyusun design serta melatih Satgas GERDEMA

Untuk mengimplementasikan GERDEMA, Pemkab menurunkan dalam berbagai langkah strategis. Selain membuat grand design, Pemkab juga merekrut konsultan nasional untuk melatih Satgas GERDEMA. Tugas Satgas ini adalah sebagai katalisator bagi masyarakat desa dalam memahami dan menjalankan GERDEMA di level desa. Dengan adanya Satgas ini, memudahkan stakeholders desa membuat perencanaan yang fokus pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Konsultan juga melatih pejabat ditingkat kabupaten, kecamatan, PKK, kepala desa, sekretaris desa, aparat desa di 7  kecamatan (Hal vii).

2. Pelimpahan 31 kewenangan ke desa (Hal 120)

Inilah jantung utama GERDEMA yang membedakan dengan daerah lain. Memberikan anggaran besar ke desa tanpa wewenang seperti filosofi Jawa "Ngeculke ndase tapi dinggondeli buntute" atau melepaskan kepala tetapi memegang ekornya. Tidak ada kesungguhan dalam mengimplementasikan kebijakan. Hal ini mudah kita temui di kementrian yang ada atau SKPD Propinsi/Kabupaten/Kota. Masih banyak program berupa bansos/hibah atau DAK infrastruktur. Seharusnya bila sebuah level pemerintah membuat kebijakan harus diikuti anggaran. Dalam manajemen keuangan dikenal prinsip money follow function (uang mengikuti fungsi) bukan sebaliknya. Rupanya yang terjadi di Malinau selain kewenangan, anggaran untuk melaksanakan kewenangan tersebut juga diberikan.

3. Alokasi Anggaran Desa Rp 1,2 M/Tahun/Desa (Hal 57)

Saya terus terang kaget membaca alokasi dana desa sebesar Rp 1,2 M/tahun/desa yang bisa dikelola langsung oleh masyarakat (desa). Alokasi sebesar ini mungkin yang bisa menyamai hanya Kabupaten Kutai Kartanegara sementara diwilayah lain apalagi di Jawa paling besar tiap desa hanya 1/3 ADD di Malinau. Hal inilah yang menegaskan komitmen kuat Dr Yansen TP, MSi sebagai bupati, kepercayaan total kepada masyarakatnya maupun kemampuan masyarakat yang dapat mengelola anggaran secara baik. Artinya bila ADD dari pemerintah pusat benar-benar di implementasikan, Bupati Malinau sudah bisa tidur nyenyak. Masyarakat sudah bisa mengenali kebutuhannya, mengelola keuangannya maupun menyusun pertanggungjawabannya.

4. Adanya Bapak Asuh Oleh Swasta (Hal 81)

Point ini menegaskan bahwa memberdayakan masyakat bukan sekedar tugas pemerintah namun juga menjadi tugas sektor swasta. Tidak banyak kepala daerah yang memiliki kemampuan mendesak atau "memaksa" swasta menjadi bapak asuh pengusaha kecil. Revolusi yang dilakukan DR Yansen mampu menggerakkan berbagai sektor termasuk ekonomi. Sepertinya beliau tahu, sektor ekonomi rakyat penting sebagai salah satu tonggak kemandirian desa. Bahkan di UU No 6/2014 Tentang Desa, didorong pembentukan BUMDes.

5. Penetapan Keluarga Sejahtera Menjadi Kewenangan Kepala Desa (Hal 132)

Terobosan yang sangat berani dilakukan oleh Bupati Malinau, yang dibeberapa wilayah seringkali ada perdebatan terhadap pemberian bantuan. Pemberian kewenangan menetapkan siapa saja keluarga sejahtera dan siapa tidak adalah menempatkan kepala desa memiliki tanggungjawab mensejahterakan masyarakat yang kurang mampu. Dengan demikian harapannya alokasi ADD sebesar Rp 1,2 M/Desa/Tahun bisa diutamakan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat miskin. Demikian pula bila ada program ditingkat kabupaten/propinsi atau pusat, pihak kabupaten sudah tidak perlu repot-repot membuat kategori. Pun DR Yansen, TP MSi memahami karakter tiap desa bisa saja berbeda sehingga ukuran kesejahteraan tidak sama.

Masukan

Buku terbitan Elex Media Komputindo (Kelompok Gramedia) memberi gambaran cukup jelas terhadap konsep GERDEMA, disertai kondisi dilapangan. Namun penting menjabarkan perangkat pendukung untuk mensukseskan GERDEMA serta roadmapnya. Kenapa? Sebab saya percaya banyak kepala daerah akan belajar mengenai "Revolusi dari Desa" a la Malinau. Sehingga dari hati kecil saya mengharap masih akan ada buku Revolusi dari Desa Jilid 2.

Kondisi Malinau cukup berbeda dibandingkan dengan mayoritas kabupaten di Indonesia. Selain berbatasan dengan 6 kabupaten/kota beda propinsi, berbatasan pula dengan Malaysia, luas mencapai 40.000 km2, terdapat Taman Nasional Kayan Mentarang, dihuni berbagai suku, banyak sungai dan lainnya. Di Malinau ada masyarakat yang menghuni pedalaman, bermukim di perbatasan maupun masyarakat adat. Tentu mewujudkan Revolusi dari Desa tidak akan mudah. Pertanyaan berikut pantas dijawab untuk buku lanjutan.

Pertama, bagaimana menyusun grand design, roadmap GERDEMA, membedah keterlibatan partisipasi masyarakat? Terutama keterlibatan suku yang ada dipedalaman. Kedua, beragam policy apakah yang disiapkan untuk mendukung Revolusi dari Desa seperti Perda, Perbup, Sk Bupati seputar mekanisme musyawarah, mekanisme perencanaan, pelimpahan wewenang, alur perencanaan, alur penganggaran, distribusi anggaran dan lainnya. Ketiga, Apakah ada best practise untuk 3 karakter desa? Sebut saja untuk karakter desa pedalaman, desa perbatasan maupun desa adat. Saya yakin 3 karakter ini tidak menggunakan model yang sama. Tiap karakter memiliki keunikan yang khas dan patut dilestarikan. Makna desa di Malinau, sedikit banyak akan punya value yang tidak sama dengan yang di Jawa. Di Malinau saya percaya nama "desa" memiliki ciri yang bisa jadi tidak sama persis.

Keempat, adanya contoh desa yang mampu mandiri setidaknya memiliki PADes (Pendapatan Asli Desa) yang signifikan dari inovasi masyarakat. Pemberian peluang terutama kewenangan desa di Bidang Ekonomi tentu menghasilkan inovasi di desa. Contoh keberhasilan desa akan merangsang desa diwilayah lain meniru baik dengan BUMDesnya atau memang roda ekonominya tumbuh. Keempat point inilah yang bisa menjadi dasar penulisan buku Revolusi dari Desa Jilid 2 dan pasti menarik banyak pihak.

Saya tunggu pak DR Yansen TP, MSi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun