Mohon tunggu...
Arsenio Wicaksono
Arsenio Wicaksono Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Lahir di Semarang pada tanggal 25 Maret 1998. Pria bertubuh setinggi Sutan Syahrir ini mengambil fokus studi Akuntansi di Universitas Diponegoro. Memiliki ketertarikan pada dunia ekonomi, sains, dan filsafat.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Realita Pajak Kendaraan Bermotor di Balik Kampanye Penghapusannya

7 Januari 2019   19:30 Diperbarui: 7 Januari 2019   20:05 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sore itu saat menelurusi arus lalu lintas timeline sosial media saya, ada satu hal menarik yang cukup ramai menjadi perbincangan di kalangan warganet sekitar. Sebuah spanduk partai menuliskannya dengan gamblang kebijakannya yang akan menghapuskan pemberlakuan pajak tahunan STNK motor dan SIM untuk berlaku seumur hidup. Sontak pertanyaan utama timbul dari kalangan warganet seperti, "Lalu pendapatan negara berkurang, dong?"

Usutnya, ternyata agenda tersebut telah diutarakan oleh petinggi partai jauh-jauh hari sebelum kabar beredar menjadi viral. Menurutnya, pemberlakuan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), bea balik nama kendaraan bermotor (BBNKB), Tarif Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan, biaya administrasi Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK), dan biaya administrasi Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (TNKB) tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pendapatan negara dan hanya menambah penderitaan rakyat.

Pajak Kendaraan Bermotor dan Angka Realisasinya

Dengan landasan hukum pada UU No. 28 Tahun 2009 Tentang Pajak dan Retribusi Daerah, pajak untuk kendaraan bermotor berjajar bersamaan dengan pajak yang diberlakukan provinsi lainnya sebagai kategori Pajak Daerah. Dengan rumus tarif dikalikan dengan dasar pengenaan pajak, PKB memiliki tarif yang berbeda di masing-masing provinsi dan nominal dasar pengenaan pajak yang ditentukan oleh pemerintah lewat tabel yang diterbitkan setiap tahunnya.

Lantas, apakah penerimaannya insignifikan terhadap APBD Provinsi? Sayangnya data berkata beda. Dilansir dari  Laporan Realisasi Anggaran Pemprov tiga provinsi dengan jumlah angka kendaraan bermotor terbesar, tercatat bahwa penerimaan PKB masing-masing Provinsi DKI Jakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur memiliki angka yang sangat berpengaruh pada Pendapatan Asli Daerah (PAD) mereka.

Di tahun 2017, penerimaan PKB dan BBNKB provinsi ibukota menjadi 18,24 persen bagian dari PAD keseluruhan. Sementara Jawa Timur mencatatkan penerimaan 70,1 persen di tahun 2016 dan Jawa Tengah di tahun 2017 sebesar 64,5 persen dari masing-masing PAD mereka. Data yang dilansir tersebut berbeda jauh dengan yang diucapkan oleh petinggi salah satu partai itu yang mengatakan bahwa penerimaan pajak kendaraan hanya berada pada kisaran 7-8 persen saja tiap tahunnya.

Jika kemudian pemberlakuan pajak kendaraan dihapuskan pada tiap provinsi, maka tentunya akan menimbulkan celah pada tiang-tiang pendanaan masing-masing provinsi. Pada satu contoh yaitu Jawa Tengah. Sumbangan PKB dan BBNKB sebanyak 64,5 persen dari PAD Jateng terjumlah dari penerimaan sebanyak 6,87 triliun Rupiah. 

Sementara itu sumbangan dari elemen penerimaan pajak daerah lainnya seperti Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB), Pajak Rokok, Retribusi Daerah dan lainnya hanya memiliki andil pada kisaran 3,76 triliun pada satu tahun periodenya.

Artinya, tiap-tiap daerah harus siap sedia untuk mengisi kekosongan yang ditimbulkan apabila pajak kendaraan dihapuskan mengingat tiap tahunnya kebutuhan belanja masing-masing provinsi berbeda dan nominal yang tidak sama juga. 

Selain itu, meski  penerimaan provinsi dari dana yang disalurkan oleh pemerintah pusat berupa Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) tiap tahunnya pun akan tetap terasa berat untuk menambal kekosongan penerimaan pajak yang ditimbulkan, namun hal itu bukan berarti tidak mungkin jika saja pemerintah pusat memang siap untuk menggelontorkan segumpal uang siap saji untuk tiap provinsi.

Jangan Lupakan Esensi Eksternalitas Pajak Kendaraan

Selain pertanyaan yang timbul dari potensi kekosongan pendapatan daerah, kekhawatiran terhadap jumlah kendaraan yang akan lebih banyak menjadi perbincangan. Pada dasarnya, menurut Undang-Undang Tentang Pajak dan Retribusi Daerah disebutkan bahwa dasar pengenaan pajak mengandung bobot yaitu tingkat kerelatifan kerusakan jalan dan/atau pencemaran lingkungan akibat penggunaan kendaraan bermotor. Dalam hal ini, ialah yang berupa eksternalitas negatif.

"If a good has a negative externality, without a tax, there will be over-consumption." Dengan pajak yang diberlakukan oleh pemerintah, ialah cara efektif untuk membebani para pelaku yang menimbulkan aktivitas yang menimbulkan kerugian pada orang lain. 

Contohnya dengan menggunakan kendaraan bermotor, para pelaku secara tidak langsung akan menimbulkan beberapa dampak seperti penggunaan jalan yang berujung pada kemacetan, polusi hasil emisi gas karbon berlebih, penurunan tingkat kualitas kesehatan orang lain, dan masih banyak hal lainnya yang akan sangat banyak jika semua disampaikan di sini.

Tiongkok, AS, India, dan Russia adalah empat negara dengan tingkat emisi karbon keseluruhan 54 persen dari angka dunia. Tentu pastinya angka itu didukung oleh jumlah kendaraan yang sangat banyak. Di baliknya, ternyata tingkat emisi karbon memiliki keterkaitan dampak yang kuat dengan tingkat kesehatan seseorang.

Sebuah penelitian di tahun 2008 oleh Mark Jacobson dari Stanford University AS menemukan bahwa pada setiap peningkatan 1 derajat celcius oleh karbondioksida menimbulkan polusi udara yang berdampak secara tahun pada seribu tambahan kematian dan berbagai penyakit pernapasan dan asma lainnya di negeri greenback itu. Secara global, lebih dari 20.000 kematian berhubungan dengan polusi udara yang diakibatkan efek rumah kaca.

Selain itu, kota London pernah menjadi kota yang parah akan kadar emisi karbonnya. Di tahun 1950 an, fenomena 'Great Stink' menyebabkan 10.000 kematian diakibatkan penyakit kolera. Penyebabnya jelas diakibatkan oleh polusi udara. Namun penyebab secara perilakunya ternyata tidak sesederhana itu: ribuan orang meninggal karena orang lain saling berlomba untuk memenuhi keinginannya untuk berkendara.

Memang, pajak yang diterapkan oleh pemerintah tentu tidak sempurna sepenuhnya. Terdapat banyak tantangan dan kekurangan untuk penerapannya. Pertama, ialah susah untuk mengukur level eksternalitas negatif yang dihasilkan. Semisal, jumlah biaya dampak polusi timbul oleh masing-masing kendaraan. Susah untuk menentukan juga siapa pengguna yang paling menghasilkan karbon terbanyak. Solusinya selama ini ialah generalisasi pada kategori kendaraan.

Kedua, besaran pajak tidak akan berdampak besar pada beberapa barang dengan sifat inelastis. Sebagaimana kita tahu bahwa mengemudi menjadi kebutuhan pokok bagi para kalangan yang beraktivitas, apabila tiada pilihan lain tersedia seperti kendaraan umum yang disediakan pemerintah dan lainnya, kendaraan pribadi menjadi preferensi utama. 

Yang terakhir, tentu ada tantangan agar setiap pemilik kendaraan membayarkan pajaknya. Pasalnya, kesadaran tingkat bayar pajak Jawa Tengah hanya sekitar 65 persen di tahun 2017. Meskipun hal tersebut bisa ditanggulangi dengan memperbanyak layanan pembayaran pajak keliling dan pengefisiensian alur administrasi birokrasi.

Namun di balik itu semua, pajak kendaraan yang terkumpul oleh pemerintah memiliki potensi besar untuk memutarbalikkan dampak eksternalitas negatif menjadi positif. Seperti, uang pajak yang pemerintah gunakan untuk membangun jalan dan infrastruktur lainnya, penyediaan subsidi layanan pendidikan, kesehatan, dan energi. Hal tersebut dapat digunakan untuk memacu pertumbuhan ekonomi untuk kesejahteraan rakyat, dengan catatan jika uang yang dipakai dapat berfungsi tepat tanpa penyelewengan.

Penghitungan pajak untuk mengatasi dampak eksternalitas negatif akan membawa harga barang sejajar dengan external marginal cost. Yang berarti bahwa konsumen akan membayar social marginal cost secara penuh. Pemberlakuannya akan membawa output barang bergeser dari Q1 menuju Q2 dan meningkatkan harga dari P1 ke P2. P2, dan Q2 adalah titik efisiensi sosial karena mempertemukan tingkat social marginal benefit (SMB) dengan social marginal cost (SMC).

Jika perhitungan pajak untuk mengatasi dampak eksternalitas negatif saja harus tepat, jargon kampanye partai pun seharusnya juga jangan asal untuk agenda kesejahteraan masyarakat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun