Selain pertanyaan yang timbul dari potensi kekosongan pendapatan daerah, kekhawatiran terhadap jumlah kendaraan yang akan lebih banyak menjadi perbincangan. Pada dasarnya, menurut Undang-Undang Tentang Pajak dan Retribusi Daerah disebutkan bahwa dasar pengenaan pajak mengandung bobot yaitu tingkat kerelatifan kerusakan jalan dan/atau pencemaran lingkungan akibat penggunaan kendaraan bermotor. Dalam hal ini, ialah yang berupa eksternalitas negatif.
"If a good has a negative externality, without a tax, there will be over-consumption." Dengan pajak yang diberlakukan oleh pemerintah, ialah cara efektif untuk membebani para pelaku yang menimbulkan aktivitas yang menimbulkan kerugian pada orang lain.Â
Contohnya dengan menggunakan kendaraan bermotor, para pelaku secara tidak langsung akan menimbulkan beberapa dampak seperti penggunaan jalan yang berujung pada kemacetan, polusi hasil emisi gas karbon berlebih, penurunan tingkat kualitas kesehatan orang lain, dan masih banyak hal lainnya yang akan sangat banyak jika semua disampaikan di sini.
Tiongkok, AS, India, dan Russia adalah empat negara dengan tingkat emisi karbon keseluruhan 54 persen dari angka dunia. Tentu pastinya angka itu didukung oleh jumlah kendaraan yang sangat banyak. Di baliknya, ternyata tingkat emisi karbon memiliki keterkaitan dampak yang kuat dengan tingkat kesehatan seseorang.
Sebuah penelitian di tahun 2008 oleh Mark Jacobson dari Stanford University AS menemukan bahwa pada setiap peningkatan 1 derajat celcius oleh karbondioksida menimbulkan polusi udara yang berdampak secara tahun pada seribu tambahan kematian dan berbagai penyakit pernapasan dan asma lainnya di negeri greenback itu. Secara global, lebih dari 20.000 kematian berhubungan dengan polusi udara yang diakibatkan efek rumah kaca.
Selain itu, kota London pernah menjadi kota yang parah akan kadar emisi karbonnya. Di tahun 1950 an, fenomena 'Great Stink' menyebabkan 10.000 kematian diakibatkan penyakit kolera. Penyebabnya jelas diakibatkan oleh polusi udara. Namun penyebab secara perilakunya ternyata tidak sesederhana itu: ribuan orang meninggal karena orang lain saling berlomba untuk memenuhi keinginannya untuk berkendara.
Memang, pajak yang diterapkan oleh pemerintah tentu tidak sempurna sepenuhnya. Terdapat banyak tantangan dan kekurangan untuk penerapannya. Pertama, ialah susah untuk mengukur level eksternalitas negatif yang dihasilkan. Semisal, jumlah biaya dampak polusi timbul oleh masing-masing kendaraan. Susah untuk menentukan juga siapa pengguna yang paling menghasilkan karbon terbanyak. Solusinya selama ini ialah generalisasi pada kategori kendaraan.
Kedua, besaran pajak tidak akan berdampak besar pada beberapa barang dengan sifat inelastis. Sebagaimana kita tahu bahwa mengemudi menjadi kebutuhan pokok bagi para kalangan yang beraktivitas, apabila tiada pilihan lain tersedia seperti kendaraan umum yang disediakan pemerintah dan lainnya, kendaraan pribadi menjadi preferensi utama.Â
Yang terakhir, tentu ada tantangan agar setiap pemilik kendaraan membayarkan pajaknya. Pasalnya, kesadaran tingkat bayar pajak Jawa Tengah hanya sekitar 65 persen di tahun 2017. Meskipun hal tersebut bisa ditanggulangi dengan memperbanyak layanan pembayaran pajak keliling dan pengefisiensian alur administrasi birokrasi.
Namun di balik itu semua, pajak kendaraan yang terkumpul oleh pemerintah memiliki potensi besar untuk memutarbalikkan dampak eksternalitas negatif menjadi positif. Seperti, uang pajak yang pemerintah gunakan untuk membangun jalan dan infrastruktur lainnya, penyediaan subsidi layanan pendidikan, kesehatan, dan energi. Hal tersebut dapat digunakan untuk memacu pertumbuhan ekonomi untuk kesejahteraan rakyat, dengan catatan jika uang yang dipakai dapat berfungsi tepat tanpa penyelewengan.
Penghitungan pajak untuk mengatasi dampak eksternalitas negatif akan membawa harga barang sejajar dengan external marginal cost. Yang berarti bahwa konsumen akan membayar social marginal cost secara penuh. Pemberlakuannya akan membawa output barang bergeser dari Q1 menuju Q2 dan meningkatkan harga dari P1 ke P2. P2, dan Q2 adalah titik efisiensi sosial karena mempertemukan tingkat social marginal benefit (SMB) dengan social marginal cost (SMC).