Mohon tunggu...
Arsenio Wicaksono
Arsenio Wicaksono Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Lahir di Semarang pada tanggal 25 Maret 1998. Pria bertubuh setinggi Sutan Syahrir ini mengambil fokus studi Akuntansi di Universitas Diponegoro. Memiliki ketertarikan pada dunia ekonomi, sains, dan filsafat.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Gua Plato dan Belenggu Jargon Sektarian "Mayoritas"

9 Desember 2018   12:40 Diperbarui: 9 Desember 2018   13:11 195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di balik itu, ada tabir di belakang orang tersebut berbentu dinding yang menempel di tabir tersebut. Dan di balik dinding tersebut, ada cahaya dari matahari yang menembus celah dari dinding di balik orang yang dirantai tersebut dan menghasilkan sebuah bayangan kecil yang oleh orang dirantai dapat melihatnya.

Gambaran ini cukup gamblang dalam perbandingannya dengan fenomena kelompok reliji kebanyakan yang mementingkan penerapan "aliran"nya. Gua itu melambangkan dunia tempatnya hidup dan orang-orang yang dibelenggu dengan rantai itu melambangkan orang-orang yang bepikiran mengunggulkan golongannya yang berjumlah terbanyak. Orang-orang yang dibelenggu itu hanya mampu melihat bayangan yang menembus dinding yang dihasilkan oleh matahari. Bayangan kecil itu pantas untuk disebut sebagai "jargon mayoritas". Karena ketiadaan kemampuan untuk melihat dunia luas di luar gua mereka, mereka selalu menanamkan jargon mayoritas itu ke dalam pikiran mereka, sehingga mereka tidak bisa melihat dunia luas lainnya yang lebih terang dipancarkan oleh matahari di luar gua yang membelenggu mereka.

Dalam semangat jargon mayoritas, ialah merupakan forma atau idea yang obyek-obyeknya berbentuk kesadaran palsu tentang bagaimana layaknya kita hidup di lingkungan yang multikultural. Melaluinya lahir adanya sekat kental yang dilestarikan dengan kata mayoritas akan membentuk masyarakat yang hidup dalam sebuah dikotomi antara mayoritas dan minoritas. Masyarakat mayoritas akan merasa superior karena jumlahnya yang banyak, dan hidup dalam kesadaran pola pikir dengan sebab jumlahnya yang paling banyak, maka menurutnya, negara ini seharusnya didirikan oleh prinsip hukum yang sesuai dengan simbol dari identitasnya.

Akibatnya, dengan pola pikir yang berangkat dari sebuah dikotomi dalam masyarakat ini timbul sebuah gerakan dengan warna identitasnya untuk menyuarakan suara dengan dasar pikiran jumlah terbanyak. Tentu saja, minoritas dengan sebesar apa pun rasa kritis untuk menyuarakan suara yang bergerak untuk lebih menjadi multikultural akan merasa khawatir akan nasibnya mereka ke depannya. 

Hasilnya terlihat jelas, di balik negara-negara maju yang menerapkan prinsip sekularismenya untuk melestarikan kehidupan yang menghargai semua hak hidup masyarakatnya dalam semangat multikulturalismenya dan menghasilkan kemajuan teknologi dan pengetahuannya, kita justru sibuk memperolok mereka dengan memperburuk citra sekularisme itu sendiri dan semakin menjadi intoleran untuk mengunggulkan keuntungan jumlah umat terbanyaknya dengan hak minoritas yang semakin kita kebiri dengan alasan semata-mata berdasarkan jumlah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun