Negara-negara Arab memang terkenal ketat dalam pemberlakuan hukumnya. Sebagai pandangan kita melihat di Iran mengenai sodomy. Hal tersebut dipandang sebagai ancaman besar dan kerap dihukum hingga kematian. Negara serupa seperti Arab Saudi, Sudan, Yemen, dan Mauritania juga memberlakukan hukuman eksekusi mati bagi yang tersangka.
Dampak dari pemberlakuan pidana ini pun menjadi petaka. Mereka yang secara tidak beruntung dituduh secara sepihak sebagai homoseks. Dan selain itu, aparat kepolisian pun turut secara aktif mencari mereka untuk ditangkap.Â
Meski angka ini dikatakan rendah jika dibandingkan dengan angka homoseksual di Inggris di tahun 1950 an, tetap saja ini menjadi hantu bagi mereka yang tertuduh dan langsung dieksekusi tanpa legalitas jelas. Rendahnya angka homoseksualitas ini pun berkorelasi dengan komparasi antara negara Arab dengan negara Barat.
Pemidanaan LGBT Sebagai Komoditas Politik dan Potensi Main Hakim Sendiri
Melihat dari pemberlakuan undang-undang homoseksualitas sebagai pidana di negara yang telah disebutkan menimbulkan pertanyaan tersendiri kepada negara kita yang sedang ramai membahas wacana yang sedang digencarkan.Â
Seperti kita tahu, LGBT menjadi isu yang menarik di kalangan masyarakat, akademisi, dan politisi. Mereka yang dinilai sebagai homoseks pun kerap dianggap sebagai penyebab bencana gempa dan dikaitkan dengan azab menggunakan ayat suci oleh golongan konservatisme reliji.
Dalam pembahasannya di Senayan, para politisi pun berlomba seakan-akan untuk menggebuk para homoseks dan memasukannya ke penjara demi strategi mendulang suara di tahun-tahun politik mendatang.Â
Bila politik dikatakan bebas nilai, maka sebenarnya sudah kelewatan apabila seorang Ketua MPR pun mampu menyebarkan berita bohong untuk menurunkan elektabilitas partai pesaingnya dengan tudingan mendukung legalisasi pernikahan sesama jenis.
Dampaknya pun tentu ke akar rumput masyarakat. Yang paling ditakutkan adalah jelas, adanya potensi main hakim sendiri, sebagaimana di Arab pun telah terjadi hal demikian.Â
Baik agen individu ataupun organisasi, mereka dapat menjadi sebuah pasukan tersendiri untuk memburu dan saling tuduh satu sama lain dengan atas nama homoseksualitas. Sebagaimana kita tahu tak jauh lama dari hari ini, seorang pasang kakak-adik pun yang sedang melepas rindu pun ramai-ramai dituding LGBT.
Tak jauh dari situ, budaya main hakim sendiri secara organisasi pun sudah cukup lestari. Akhir-akhir ini kita pastinya tak jauh dari berita mengenai ormas dengan "bordiran di belakang" di Sumenep, Jawa Timur. Sebuah pesta ulang tahun anak-anak pun bisa ramai-ramai dihakimi sebagai tempat pelacuran. Korban trauma hingga luka pun tak terhindari, maka dengan analogi demikian dan apabila LGBT dipidanakan, butuh berapa lagi korban untuk terjerat sebagai kasus main hakim sendiri?