Mohon tunggu...
Arsenio Wicaksono
Arsenio Wicaksono Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Lahir di Semarang pada tanggal 25 Maret 1998. Pria bertubuh setinggi Sutan Syahrir ini mengambil fokus studi Akuntansi di Universitas Diponegoro. Memiliki ketertarikan pada dunia ekonomi, sains, dan filsafat.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Memainkan Analogi Liar Robohnya Selasar Gedung BEI di Post-Truth Era

20 Januari 2018   19:48 Diperbarui: 20 Januari 2018   21:28 702
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
kredit gambar: seeingthewoods.org

Sementara hal tersebut tidak dilihat dengan kenyataan sebagai gejala bahwa masyarakat kita lebih ingin mendengarkan atau mengetahui berita yang ingin mereka dengarkan, bukan sebuah fakta yang di dalamnya banyak unsur emosional terlibat. Di sini HOAX berperan besar, di mana ia menjadi sebuah gejala awal dan malas untuk mencari tahu, tabayun atau berbaik sangka menjadi sebuah penyakit yang mendulang keuntungan tersendiri bagi penggiat industri kabar bohong dalam melancarkan aksinya.

Dalam mengahadapi narasi tanpa dasar ataupun kabar bohong ini pun jelas berat tantangannya, apalagi jika sudah berhadapan dengan orang yang sudah tergolong sebagai penderita akut dari arus kabar bohong. Unsur emosional di atas kenyataan. Padahal, kolumnis The Daily Dot, Cabell Gathman mengatakan bahwa untuk mencegah berkembangnya kabar bohong adalah dengan melihat legitimasi dari sumber berita.

Dengan belajar dari kejadian kemenangan Trump, dan aksi dengan nuansa konservatisme reliji dan politik di negara kita pada tahun lalu. Kita dapat belajar bahwa kabar bohong telah mampu menjadi senjata mutakhir untuk melumpuhkan lawan. Trump dengan kampanye rasial dan konservatisme relijinya yang identik dengan munculnya gerakan populisme kanan dengan mengutamakan pribumi dan reliji tertentu di negeri kita memiliki kesamaan, yaitu sama-sama diiringi dengan alunan kabar bohong yang tak kunjung surut hingga sekarang. 

Maka bagaimana kita berbicara politik  dan kabar bohong di tahun pemilihan kepala daerah tahun ini? Sepertinya terlalu jauh untuk dibahas. Mengingat bagaimana seorang legenda bintang porno saja mampu meyakinkan dan dikampanyekan oleh gerakan anti-vaksin sebagai dokter ilmiah dalam preferensi memercayai vaksinisasi. Lalu apa solusinya? Kurangi konsumsi micin kalau kata 'kids jaman now'bersabda.

 
 
 

[i] Magniz-Suseno, Franz. 1999. Pemikiran Karl Marx. Jakarta: Gramedia Pustaka.

   

[ii] Marx, Karl dan Friedrich Engels. 1846. Ideologi Jerman. Yogyakarta: Pustaka Nusantara.

   

[iii] Adelbert, 2004. Antropologi Berfilsafat. Yogyakarta:Pustaka Filsafat

   

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun