Lewat sorot kamera CCTV, ada sekitar empat puluh hingga lima puluhan mahasiswa sedang berjalan di selasar Tower II dalam kunjungannya ke gedung Bursa Efek Indonesia (BEI) siang itu. Tiba-tiba saja lantai yang menampung banyak orang itu ambruk dan manusia di atasnya pun turut mengikuti. Barangkali tak ada yang menyangka, siang itu menjadi petaka yang tak terduga mengingat tampilan kemegahan gedung yang tentunya bakal memendam jauh-jauh prasangka buruk dari tragedi tersebut.
Beruntung tidak menimbulkan korban jiwa meski banyak korban luka dan patah tulang. Namun naas, saya tidak dapat menghentikan pikiran saya yang malah ngalor-ngidul. Dengan pikiran liar saya, saya teringat akan buku yang ditulis oleh Franz-Magnis berjudul "Pemikiran Karl Marx" nya yang menyebutkan bahwa Marx berkata, "Kapitalisme yang sedang menggali kuburannya sendiri."[i]Â Dalam hal ini, saya mengaitkan robohnya gedung BEI ini dengan argumen Marx yang berkata demikian.
Terlalu takhayul memang, demikian pun Marx sendiri jika berada di depan saya saat itu mungkin ia akan mengkritik saya lewat sebuah buku atau barangkali melempar buku "Capital" nya ketiga sebanyak 954 halaman setelah tahu pikiran saya yang liar itu. Buku yang cukup tebal untuk dipukulkan ke kepala seseorang. Sebagaimana dalam bukunya "German Ideology", Marx pun banyak mengkritisi pemikiran kaum Hegelian muda yang selalu mengaitkan realita di hadapannya dengan konsepsi relijius.[ii]
"Sistem kapitalisme yang akan meniadakan dirinya sendiri. Karena "nilai-lebih" di tangan kaum kapitalis, maka kejayaan mereka makin besar dan buruh  semakin miskin. Mereka tidak sanggup lagi membeli apa yang diproduksi. Persaingan di antara kaum kapitalis pun makin bertambah. Mereka mulai bergabung (trust, kartel) sehingga makin kuat kedudukannya. Jumlah pemilik modal makin kecil dan umlah kaum buruh makin besar. Karena barang tak lagi dapat dibeli, maka akhirnya sistem kapitalisme akan menghancurkan dirinya sendiri."[iii]
Menerjemahkan bencana alam sebagai tindak balasan dari sang mistikus adalah contoh sederhana yang saya sertakan. Hal kecil ini mampu memberikan arti dengan kuasa dogmatik dan masyarakat yang malas untuk mencari tahu, besarnya pengaruh dogma yang tertanam pada individu dan sebagaimana disebutkan oleh Robert Freidman, seorang psikolog University of Massachussets bahwa kebohongan memiliki keterkaitan dengan kepercayaan diri dan adanya keinginan untuk diakui oleh kalangan banyak[iv]. Dalam kaitannya, subyek-subyek yang melakukan hal tersebut ingin disepahami dan dianggap benar, caranya dengan melestarikan ilmu mutakhir "cocoklogi".