Mohon tunggu...
Arsenio Wicaksono
Arsenio Wicaksono Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Lahir di Semarang pada tanggal 25 Maret 1998. Pria bertubuh setinggi Sutan Syahrir ini mengambil fokus studi Akuntansi di Universitas Diponegoro. Memiliki ketertarikan pada dunia ekonomi, sains, dan filsafat.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jalan Terjal Menyambut Hari Kebangkitan Nasional

20 Mei 2017   12:33 Diperbarui: 20 Mei 2017   12:54 955
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: bekasiurbancity.com

Selasa, 16 Februari silam, terpampanglah tulisan berukuran cukup besar di sebuah papan billboard wilayah Jakarta Pusat, yang sudah pasti menarik perhatian warga sekitar yang berkendara ataupun melintasi papan tersebut. Tulisan yang dirangkai pun cukup frontal. “Presiden biadab kianati Pancasila,” begitulah tulisan tersebut terpampang besar tanpa canggung menggunakan huruf kapital di setiap hurufnya.

Hal ini tentunya menimbulkan pertanyaan yang sudah pasti timbul oleh setiap pasang mata yang membaca tulisan tersebut. “Siapa yang melakukannya?” Lain daripada itu, pelaku kegiatan vandalisme tersebut saya rasa memiliki niat dan tekad yang besar untuk melakukan hal tersebut. Bukti dari opini yang terlinta s dari ucapan saya barusan adalah sebagai fakta, bahwa tulisan tersebut ditulis pada papan billboard yang tingginya mencapai 30 meter.

Sebagai respon dari tindakan vandalisme itu, sekitar 10 petugas pemadam kebakaran langsung berusaha untuk menurunkan papan tersebut dengan tujuan untuk meredam reaksi masyarakat serta kemacetan yang terjadi di sekitar lokasi papan yang dicoret-coret tersebut. Reaksi sendiri timbul dari benak pikiran saya, apa motivasi pelaku yang sangat tinggi sehingga ia nekat untuk melakukan hal tersebut? Apakah keselamatan menjadi prioritas nomor dua setelah penyampaian aspirasi pada papan billboard setinggi 30 meter yang dilakukan oleh sang pelaku?

Kontroversi Poster “Garudaku Kafir”

Satu lagi hal yang cukup menarik perhatian masyarakat hingga bahkan menjadi berita rubrik nasional di salah satu media massa online. Ketika sedang gencar-gencarnya akan geger pembubaran salah satu organisasi yang dianggap bertentangan dengan Pancasila dan juga NKRI, eh muncul oknum yang nekat pula untuk menempelkan poster kontroversial bersifat provokatif yang dinilai melecehkan lambang negara.

Entah apa maksud di balik aksi provokasi melalui poster tersebut, tetapi yang jelas bahwa aksi ini memiliki potensi untuk memecah belah NKRI dengan dampak yang dapat menimbulkan berbagai salah tafsir di kalangan masyarakat umum. Menggunakan kata kafir, mengingatkan saya seperti cerita mengenai kaum Wahabi yang sering mengafirkan orang agama lain atau bahkan orang se-agama saja bisa dicap kafir. Melihat dari kontroversialnya judul yang digunakan, membuat saya bertanya-tanya akan latar belakang dari sang pelaku.

Antara ingin menunjukkan potensi kekreatifan atau memang ingin mencari popularitas dengan menggunakan judul yang kontroversif, hal ini patut digaris bawahi sebagai langkah yang sangat bijak apalagi jika tujuannya untuk menarik massa agar bergabung dengan acara yang diwacanakan sesuai yang tertulis di bawah judul poster. 20 Mei 2017 pukul 15.30 WIB, acara apakah itu? Menghubungkan dengan judul poster, pantaskah acara tersebut dilaksanakan bertepatan dengan hari kebangkitan nasional?

Refleksi Akan Terjalnya Jalan Menuju Hari Peringatan Kebangkitan Nasional

Sekilas menoleh ke belakang, bangsa kita beberapa hari ini memang sedang digoncang dengan beberapa fenomena yang telah disebutkan. Apalagi dengan viralnya perdebatan mengenai vonis gubernur petahana yang diadili setelah ucapannya yang kontroversial di kepulauan Seribu, hal ini memang membuat masyarakat mengalami fragmentasi melalui perbedaan pendapatnya. Mana yang benar? Semuanya mengaku sama-sama benar.

Ada yang menganggap tidak adil akan vonisnya dianggap terlalu enteng, kemudian menyalahkan konstitusi peradilan negara yang subyektif, lanjut dari itu adalah penudingan bahwa pemerintah memiliki andil dalam putusan vonis tersebut. Ada pula yang menganggap bahwa ia seharusnya tak ditahan, kemudian menyerukan untuk kembali menanamkan nilai Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat yang sangat majemuk di negara kita, tetapi juga menyalahkan kelompok-kelompok yang dirasa berseberangan dengan mereka dan meminta pemerintah untuk memberangusnya.

Yang paling parah di antara semuanya adalah munculnya gerakan-gerakan yang menuding Pancasila tidak sesuai dengan nilai-nilai keagamaan, sehingga ingin menggantikannya dengan paham yang mereka anggap sangat mulia dan auto surga. Menjadi suatu koinsiden atau pun memang disengaja, kejadian-kejadian ini sangat bertepatan dengan menjelang hari peringatan kebangkitan nasional. Pertanyaan pun kembali timbul, jika memang hari kebangkitan nasional diidentikan dengan kebangkitan jiwa nasionalisme, apakah sekedar peringatan saja cukup untuk menyambut hari yang mulia ini?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun