Mohon tunggu...
Nining Rahayu
Nining Rahayu Mohon Tunggu... Lainnya - mahasiswa

menulis

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kemiskinan di Masa Pandemi

5 November 2023   12:16 Diperbarui: 5 November 2023   12:30 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pandemi Covid-19 berdampak signifikan terhadap peningkatan kemiskinan. Pertumbuhan ekonomi menjadi prasyarat untuk menurunkan angka kemiskinan, tetapi terlebih dahulu Covid-19 harus teratasi. Tak dapat dimungkiri, pandemi Covid-19 berdampak signifikan terhadap peningkatan kemiskinan. Pada Maret 2020, ketika saat itu kasus Covid-19 di Indonesia sudah mulai terkonfirmasi, persentase penduduk miskin naik 0,56 persen terhadap angka kemiskinan September 2019. Selanjutnya, pada September 2020, persentase penduduk miskin kembali mencapai dua digit, yakni 10,19 persen atau sekitar 27,55 juta orang.

Hal ini tentu memprihatinkan dan sangat disayangkan. Pasalnya, pada 2015-2019, angka kemiskinan berhasil ditekan dan menurun dari tahun ke tahun. Bahkan, sejak Maret 2018, telah berhasil mencapai satu digit.

Hingga kini, virus Covid-19 masih mengkhawatirkan. Jumlah kasus positif yang masih tinggi dan adanya kabar virus varian baru tentu semakin meresahkan. Pertumbuhan ekonomi yang masih terkontraksi dan pengangguran yang masih cukup tinggi akibat pandemi Covid-19 juga dikhawatirkan berdampak banyak pada angka kemiskinan.

Sejak triwulan II-2020 hingga triwulan I-2021, ekonomi Indonesia masih mengalami kontraksi pertumbuhan. Meskipun mengalami perbaikan dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi triwulan IV-2020 yang terkontraksi 2,19 persen (year on year), pertumbuhan ekonomi pada triwulan I-2021 masih terkontraksi 0,74 persen (year on year).

Selain itu, jika dilihat lebih dalam, konsumsi rumah tangga mengalami kontraksi cukup besar dibandingkan dengan komponen pengeluaran lainnya, yakni 2,23 persen (year on year). Hal ini menunjukkan bahwa pengeluaran masyarakat untuk konsumsi masih rendah.

Salah satu penyebab rendahnya pengeluaran konsumsi rumah tangga tersebut adalah karena banyak orang yang kehilangan pekerjaan, yang artinya pendapatan juga berkurang. Berdasarkan hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Februari 2021, sebanyak 19,10 juta penduduk usia kerja terdampak Covid-19. Karena adanya pandemi Covid-19, sebanyak 1,62 juta orang menjadi penganggur; 0,65 juta orang menjadi bukan angkatan kerja; 1,11 juta orang sementara tidak bekerja; dan 15,72 juta orang bekerja dengan pengurangan jam kerja.

Sementara itu, pengeluaran konsumsi pada kelompok masyarakat kelas menengah dan menengah ke atas juga pasti tertahan akibat ketidakpastian pandemi Covid-19. Mereka lebih fokus pada kesehatan dan memilih untuk mengalihkan pendapatan mereka dalam bentuk saving. Masalah rendahnya konsumsi rumah tangga ini tentu perlu diperhatikan bersama sebagai upaya memulihkan perekonomian. Hal ini karena perekonomian Indonesia masih didominasi oleh komponen pengeluaran konsumsi rumah tangga yang mencakup lebih dari separuh PDB Indonesia, yaitu 56,93 persen.

Bahkan, untuk kelompok 40 persen kelas menengah berkontribusi 35,85 persen dan kelompok 20 persen kelas atas berkontribusi 46,22 persen dari seluruh konsumsi rumah tangga nasional. Sementara kontribusi pada kelompok 40 persen terbawah hanya 17,93 persen dari seluruh konsumsi rumah tangga nasional.

Selama ini, BPS menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach) untuk mengukur kemiskinan. Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Jadi, penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan.

Garis kemiskinan (GK) mencerminkan nilai rupiah pengeluaran minimum yang diperlukan seseorang untuk memenuhi kebutuhan pokok hidupnya selama sebulan, baik kebutuhan makanan maupun non-makanan. GK terdiri dari GK makanan (nilai pengeluaran minimum untuk kebutuhan makanan yang setara 2.100 kilo kalori per kapita per hari) dan GK non-makanan (nilai pengeluaran minimum untuk kebutuhan pokok non-makanan). Berdasarkan konsep kemiskinan tersebut, maka peningkatan pendapatan/daya beli masyarakat untuk memenuhi kebutuhan dasarnya (konsumsi) selalu diharapkan agar kemiskinan dapat ditekan.

Oleh karena itu, berbagai stimulus dari pemerintah yang telah dikeluarkan untuk meningkatkan konsumsi perlu didukung semua lapisan masyarakat agar ekonomi dapat segera pulih. Jika ekonomi pulih, atau paling tidak menunjukkan perbaikan yang signifikan, diharapkan akan meningkatkan penyerapan tenaga kerja. Terserapnya tenaga kerja diharapkan akan meningkatkan pendapatan/ daya beli masyarakat dan pada akhirnya dapat membantu menekan berbagai masalah sosial ekonomi, termasuk naiknya tingkat kemiskinan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun