Aku membuka whatsapp. Mencari nama Chan. Lalu men'delete'nya. Hilang dari list kontak whatsappku. Semua sudah hilang. Tidak ada lagi percakapan kami di sana. Tidak ada foto-foto Chan. Tidak ada gambar-gambar yang Chan kirimkan kepadaku. Aku diam. Aku termangu di depan komputer. Senyap. Chan pun tidak mengirimkan pesannya untukku. Sejak pertemuanku dengan Ustad Salman, esok harinya, dan hari ini, pesan Chan yang datang padaku bisa aku hitung dengan jari tanganku. Entah apa yang telah aku ucapkan padanya. Entah apa yang telah melukainya. Chan tidak menghubungiku lagi. Chan hilang. Suara-suara si burung mungil dan denting piano yang menandakan kehadirannya, tidak ada lagi. Aku harus kuat. Aku harus bisa. Karena Chan diciptakan bukan untukku. Aku sayang padanya, aku sangat sayang padanya, mungkin aku mencintainya, tapi Chan bukan untukku. Jalannya masih panjang. Dan benar, mungkin Chan tidak pernah menyukaiku sebagai seorang perempuan. Mungkin benar apa kata Ustad Salman, aku hanya sebagai pelarian sesaat. Hanya Chan dan Tuhan yang tahu.
Aku angkat lagi handphoneku. Aku perhatikan. Ada simbol whatsapp. Aku buka. Tak satu pun dari Chan. Aku letakkan. Aku menulis lagi. Aku berdiri dan mondar mandir tak menentu. Aku kembali ke komputer. Menulis lagi. Aku ke tempat tidur. Aku biarkan anganku melayang liar. Aku lelah. Aku bangkit dan menuju komputer lagi. Aku hanya duduk termangu-mangu. Aku sudah gila. Aku seperti anak ayam kehilangan induknya. Aku bahkan tidak merendahkan dahiku menghamba padaNya. Aku tidak melantunkan ayat-ayat suciNya. Aku tidak melakukan ibadah apapun selain sekedar dan yang minim. Hatiku hampa. Pikiranku meradang. Aku menjadi jalang. Runtuh. Bangunan akalku melemah dan jatuh. Kepalaku bisa mengerti, tapi hatiku memberontak. Aku rindu Chan. Aku rindu bercanda dengannya. Aku rindu tawanya. Aku rindu dia menggodaku. Dua hari ini aku benar-benar tersiksa. Tanpa luka. Tanpa nanah. Tapi aku benar-benar merana.
Mas...
Sapaku pada Chan. Tapi, lama tak berbalas. Aku mencoba menarik perhatiannya. Aku mencoba membombardirnya dengan pesan-pesanku. Diam. Tak ada balasan. Yang ada hanya double centang berwarna biru, tanda Chan sudah membukanya. Tapi hanya itu. Hanya itu. Rembulan sudah menanti di sana. Aku tahu. Cuaca hari ini sangat mendukung. Kami pasti bisa bermain-main dan bersendau gurau di bawah sinarnya dalam pandangannya, rembulan jingga.
Baiklah. Aku siap mengantarmu pergi Chan. Aku siap. Kamu bukan milikku Chan. Kamu bukan milik siapa pun. Kamu milik Tuhan. Ya, kamu milik Tuhan yang dititipkan kepada kedua orang tuamu. Kamu milik Tuhan yang ditakdirkan menggoyahkan hatiku. Sesaat. Hanya dalam waktu dua minggu. Melambungkanku tinggi di awan dan berpesta pora di sana dengan indahnya bunga-bunga dan arakan awan-awan putih yang memukau bak permadani tebal bersulam sutra. Dan kemudian menghempaskanku begitu dalam. Begitu dalam. Kau membuat hidupku bermain roller coaster Chan. Benar. Kau membolak-balikkan diriku begitu dahsyat dan cepat. Aku siap mengantarmu pergi Chan. Aku siap mengantarkanmu pergi sayangku. Pergilah. Rembulan sudah menunggumu di sana. Rembulan sudah menantimu sejak tadi sore. Atau rembulan hanya ingin mengabarkan padaku di sini, bahwa engkau tidak ingin kembali kemarin malam bersama mentari. Entahlah. Tapi aku tahu, kamu tidak menyapaku lagi Chan.
Iya Say, kini menjadi begitu hampa dan dipaksakan. Semacam ada kewajiban tak tertulis bahwa kamu harus menjawabnya Chan. Tidak perlu. Kamu tidak perlu melakukan itu Chan. Aku kuat. Aku bisa mengatasinya. Pergilah, dan jangan ragu. Jangan berpura-pura bahwa kau perduli padaku Chan. Jangan. Karena itu hanya akan menambah luka hatiku.
Rembulan, bawalah kekasihku pergi. Bawalah. Aku tidak akan menantinya lagi.
Semanggi, Solo the Spirit of Java.
Kisah cinta di Juni yang seksi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI