#NulisRandom2017 (day 15)
Kalau serius dan sama-sama rela, why not?
Begitu ucapan Ustad Salman kepadaku. Tapi aku katakan, bahwa aku ragu dan takut, sebab Chan masih sangat muda, meski Chan pernah mengatakan padaku berapa umurnya, tapi aku tidak mempercayainya, waktu itu. Ustad Salman kembali bertanya kepadaku, apakah Chan sudah tidak memiliki ibu. Aku menjawab sepertinya masih komplit, sebab aku melihat fotonya di facebook, dan aku pikir itu adalah ayah ibunya dan dua adiknya. Chan anak sulung nampaknya, kataku pada Ustad Salman.
Ustad Salman menghela napas, lalu berkata kepadaku, bahwa kemungkinan itu ada, sebab mungkin Chan akan merasa terhormat jika bisa menjadi istri seorang anak ustadnya. Aku membelalakkan mataku lebar-lebar, sebab aku tidak bisa mengerti akan hal itu.
Ya ya ya.
Kata Ustad Salman sambil mengangguk-angguk dan sedikit tersenyum, pandangannya mengarah ke bawah. Aku yakin sebenarnya Ustad Salman ingin tersenyum, tapi ditahannya karena menghormati keseriusan wajahku. Seorang anak manusia yang sedang jatuh cinta, pasti lucu sekali mukaku saat ini, tapi aku benar-benar tidak bisa menahan beban hatiku. Aku terpukul.
Santai saja, biasa dan tetap jalani puasa dengan tertib, begitu ucap Ustad Salman dengan wajah dan nada bicara yang kembali serius. Ustad Salman menambahkan, bahwa ada beberapa tipe lelaki dalam mencintai perempuan. Ada tipe lelaki menyukai yang lebih dewasa, ada juga karena faktor keluarga, ada karena faktor-faktor lain sesuai keinginannya. Ustad Salman menghentikan ucapannya menggantung, aku masih terus menunggu kata-kata selanjutnya dan siap untuk mendengarkannya.
Itu sesuatu yang wajar, wajar karena ada lelaki suka perempuan. Wajar karena Naila merasa tidak nyaman sebab beda usia, benar kan?
Pertanyaan Ustad Salman itu menyentakkanku. Sebuah pertanyaan retorika. Aku hanya menghela napasku dalam-dalam dan terus menunduk.
Sebelum saya memberikan solusi, bolehkah saya bertanya beberapa hal terlebih dahulu?
Aku mengangkat wajahku, menatap sekilas pada Ustad Salman, dan aku mengangguk tanda setuju. Aku akan menjawabnya, sejauh pengertianku tentang Chan, sebab aku tahu, aku tidak banyak mengerti soal Chan, tapi aku siap menjawab setiap pertanyaannya. Aku membetulkan letak dudukku lebih tegak, lalu aku menyimak. Ustad Salman ingin mengetahui beberapa hal, dan aku menuliskannya dalam hatiku, mengingatnya di kepalaku.
Apakah Chan baru pertama kali merasa jatuh cinta? Apakah Chan mengikuti pengajian dengan aktif dan tertib? Apakah Chan lulusan Sarjana, D3 atau SMA? Apakah keluarganya juga orang yang mengikuti pengajian? Apakah Chan lelaki pendiam dan kurang banyak teman? Apakah Chan tipe pekerja untuk dirinya sendiri atau untuk keluarganya?
Pertanyaan yang bertubi-tubi. Aku menarik napas, memberi ruang pada hatiku untuk menjawabnya. Tidak, kataku mulai menjawab satu per satu pertanyaan yang dilontarkan Ustad Salman. Chan pernah bilang bahwa gadis yang dicintainya menikah dengan lelaki lain. Chan adalah care giver bagi siswa-siswa di sebuah boarding house yang mengharuskannya mengaji dan memastikan siswa-siswa itu mengaji dan mendapatkan pendidikan agama Islam dengan baik. Chan kuliah dan sedang menyelesaikan tugas akhirnya. Keluarga Chan orang mengaji dan mempelajari ilmu agama. Teman Chan di facebook jauh lebih banyak dari teman-temanku, berkali-kali lipat. Dan pertanyaan yang terakhir, aku tidak bisa menjawab, sebab aku belum tahu sampai ke sana, aku baru mengenal Chan.
Ustad Salman kembali menghela napas, dan aku mulai gelisah menantikan ucapannya.
Naila, ini penting sebagai bahan pertimbangan. Chan mendapatkan luka di hatinya kerana perempuan yang disukainya menikah dengan lelaki lain. Bisa jadi, Naila hanya sebagai tempat pelarian sesaat.
Boom! Jantungku berdetak sangat keras, seperti ada yang meronta ingin keluar dari dalam dadaku. Aku marah. Aku tersakiti. Aku merasa ditipu. Aku ingin menangis. Aku ingin mengumpat. Aku ingin memukul Chan dengan keras. Mengapa Chan sampai hati melakukan ini padaku? Apa salahku padanya? Apa yang sudah aku lakukan pada Chan, hingga Chan melukaiku sehebat ini? Sejenak kemudian, akalku berontak. Ayolah, Naila, apa yang kamu bicarakan?! Seiring dengan akalku yang bercakap, Ustad Salman mengeluarkan kata-katanya lagi.
Sebaiknya tidak perlu dilanjutkan hubungan tersebut, Naila, begitu suara Ustad Salman yang terdengar menyayat di telingaku. Lalu Ustad Salman menambahkan, bahwa membiarkan Chan menjadi adik yang baik dan membimbingnya meraih masa depannya, akan lebih baik bagi diriku dan diri Chan. Aku harus bersikap jelas dan tegas pada Chan, memberinya nasehat selaku adik jika memang diperlukan. Sebab jika diteruskan, Ustad Salman memprediksi hubunganku dengan Chan tidak akan bertahan lama, paling akan terlihat romantis selama 5 tahunan ke depan, selebihnya, banyak kisah yang bisa aku jadikan pelajaran. Menurut Ustad Salman, lelaki itu kurang lebih sama dalam menyukai perempuan, yakni memilih yang muda. Jika sudah merasa tidak cocok, maka akan dipinggirkan dan mencari perempuan lain yang lebih muda. Bagi lelaki, seks selalu menjadi prioritas, apalagi yang masih muda.
Hatiku serasa diiris-iris. Aku benar-benar tidak sanggup lagi mendengarkan kata-kata Ustad Salman selanjutnya. Cukup. Sudah cukup. Aku tidak perlu tersakiti oleh rasa ini. OK aku menyukai Chan. OK mungkin aku mulai jatuh cinta padanya. Tapi aku tidak tahu, aku tidak tahu jika Chan masih sangat muda. Dan aku bisa menutup kisah ini sampai di sini. Aku tidak perlu disakiti lagi, oleh kata-kata yang mungkin aku tidak siap untuk mendengarnya. Untuk apa? Toh aku tidak akan mati jika tidak menikah dengan Chan. Tuhan menciptakan lelaki banyak sekali, dan Tuhan sudah menciptakan jodoh untukku, jadi aku tidak perlu khawatir, aku tidak perlu disakiti oleh sesuatu yang memang bukan hakku.
Aku menangis dalam diam. Air mataku tidak mengalir, tapi aku benar-benar terpuruk. Aku tergugu dan menenggelamkan wajahku lebih dalam lagi, tapi aku masih mendengar suara Ustad Salman.
Sebaiknya Naila menikah dengan lelaki yang seumuran dengan Naila, yang benar-benar cintanya untuk menghamba padaNya, bukan sekedar urusan seks yang selamanya di dunia ini tidak akan pernah bisa memuaskan, selamanya, tegas Ustad Salman dengan suara yang lebih menekan. Terlalu banyak contoh di sekitar kita, jika menikah beda usia. Kedewasaan, berbeda tujuan, akan berujung saling menyakiti. Masih ada orang yang telah dewasa cara berfikirnya dan shalih, mencari pendamping hidup untuk bersama-sama meniti hidup menuju ridhaNya. Begitu ucapan Ustad Salman yang aku dengarkan masuk ke dalam telingaku, meski aku masih setia menunduk. Ustad Salman berdoa untukku agar segera mendapatkan jodoh, benar-benar jodoh yang terbaik, sebagai hadiah dari Allah. Ustad Salman juga mengatakan kepadaku untuk berikhtiar, berdoa yang tiada putus asa.
Aku masih menunduk. Aku terus menunduk ketika Ustad Salman berucap maaf, dan mengatakan bahwa bukan maksudnya untuk memutus hubunganku dengan Chan, namun jika tidak jadi dengan Chan, akan lebih baik untuk semua kedepannya. Biarkan Chan menyelesaikan tugas-tugasnya sebagai mahasiswa, jangkauannya masih luas. Biarkan nanti Chan mempunyai pendamping yang lain, ucap Ustad Salman rendah, berusaha memberiku semangat dan tidak ingin melukaiku, tapi bagiku, luka itu sudah menganga dari detik pertama aku memutuskan untuk meminta nasehatnya.
* * *
Aku membuka whatsapp. Mencari nama Chan. Lalu men'delete'nya. Hilang dari list kontak whatsappku. Semua sudah hilang. Tidak ada lagi percakapan kami di sana. Tidak ada foto-foto Chan. Tidak ada gambar-gambar yang Chan kirimkan kepadaku. Aku diam. Aku termangu di depan komputer. Senyap. Chan pun tidak mengirimkan pesannya untukku. Sejak pertemuanku dengan Ustad Salman, esok harinya, dan hari ini, pesan Chan yang datang padaku bisa aku hitung dengan jari tanganku. Entah apa yang telah aku ucapkan padanya. Entah apa yang telah melukainya. Chan tidak menghubungiku lagi. Chan hilang. Suara-suara si burung mungil dan denting piano yang menandakan kehadirannya, tidak ada lagi. Aku harus kuat. Aku harus bisa. Karena Chan diciptakan bukan untukku. Aku sayang padanya, aku sangat sayang padanya, mungkin aku mencintainya, tapi Chan bukan untukku. Jalannya masih panjang. Dan benar, mungkin Chan tidak pernah menyukaiku sebagai seorang perempuan. Mungkin benar apa kata Ustad Salman, aku hanya sebagai pelarian sesaat. Hanya Chan dan Tuhan yang tahu.
Aku angkat lagi handphoneku. Aku perhatikan. Ada simbol whatsapp. Aku buka. Tak satu pun dari Chan. Aku letakkan. Aku menulis lagi. Aku berdiri dan mondar mandir tak menentu. Aku kembali ke komputer. Menulis lagi. Aku ke tempat tidur. Aku biarkan anganku melayang liar. Aku lelah. Aku bangkit dan menuju komputer lagi. Aku hanya duduk termangu-mangu. Aku sudah gila. Aku seperti anak ayam kehilangan induknya. Aku bahkan tidak merendahkan dahiku menghamba padaNya. Aku tidak melantunkan ayat-ayat suciNya. Aku tidak melakukan ibadah apapun selain sekedar dan yang minim. Hatiku hampa. Pikiranku meradang. Aku menjadi jalang. Runtuh. Bangunan akalku melemah dan jatuh. Kepalaku bisa mengerti, tapi hatiku memberontak. Aku rindu Chan. Aku rindu bercanda dengannya. Aku rindu tawanya. Aku rindu dia menggodaku. Dua hari ini aku benar-benar tersiksa. Tanpa luka. Tanpa nanah. Tapi aku benar-benar merana.
Mas...
Sapaku pada Chan. Tapi, lama tak berbalas. Aku mencoba menarik perhatiannya. Aku mencoba membombardirnya dengan pesan-pesanku. Diam. Tak ada balasan. Yang ada hanya double centang berwarna biru, tanda Chan sudah membukanya. Tapi hanya itu. Hanya itu. Rembulan sudah menanti di sana. Aku tahu. Cuaca hari ini sangat mendukung. Kami pasti bisa bermain-main dan bersendau gurau di bawah sinarnya dalam pandangannya, rembulan jingga.
Baiklah. Aku siap mengantarmu pergi Chan. Aku siap. Kamu bukan milikku Chan. Kamu bukan milik siapa pun. Kamu milik Tuhan. Ya, kamu milik Tuhan yang dititipkan kepada kedua orang tuamu. Kamu milik Tuhan yang ditakdirkan menggoyahkan hatiku. Sesaat. Hanya dalam waktu dua minggu. Melambungkanku tinggi di awan dan berpesta pora di sana dengan indahnya bunga-bunga dan arakan awan-awan putih yang memukau bak permadani tebal bersulam sutra. Dan kemudian menghempaskanku begitu dalam. Begitu dalam. Kau membuat hidupku bermain roller coaster Chan. Benar. Kau membolak-balikkan diriku begitu dahsyat dan cepat. Aku siap mengantarmu pergi Chan. Aku siap mengantarkanmu pergi sayangku. Pergilah. Rembulan sudah menunggumu di sana. Rembulan sudah menantimu sejak tadi sore. Atau rembulan hanya ingin mengabarkan padaku di sini, bahwa engkau tidak ingin kembali kemarin malam bersama mentari. Entahlah. Tapi aku tahu, kamu tidak menyapaku lagi Chan.
Iya Say, kini menjadi begitu hampa dan dipaksakan. Semacam ada kewajiban tak tertulis bahwa kamu harus menjawabnya Chan. Tidak perlu. Kamu tidak perlu melakukan itu Chan. Aku kuat. Aku bisa mengatasinya. Pergilah, dan jangan ragu. Jangan berpura-pura bahwa kau perduli padaku Chan. Jangan. Karena itu hanya akan menambah luka hatiku.
Rembulan, bawalah kekasihku pergi. Bawalah. Aku tidak akan menantinya lagi.
Semanggi, Solo the Spirit of Java.
Kisah cinta di Juni yang seksi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H