Mohon tunggu...
Noer Fadlilah Wening
Noer Fadlilah Wening Mohon Tunggu... Wiraswasta - https://ninin-dahlan-marchant.blogspot.com/

An ordinary wife who try to learn everything as much as possible.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Cintaku Dibawa Rembulan

14 Juni 2017   02:34 Diperbarui: 16 Juni 2017   09:40 279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tak ada lagi yang menyapaku kini. Denting piano atau kicauan burung yang kadang hadir dalam kamar penuh kertas dan baju yang aku diami, hilang bak ditembak serdadu Belanda, burungnya maupun pianisnya. Sunyi, sekarang benar-benar sepi. Memang silih berganti dan sahut-bersahut bunyi-bunyi yang lain, tapi bukan twet twet si burung mungil yang menggemaskan itu, atau denting piano pianis piawai yang aku rindukan. Sudah dua hari ini, kamar ini menjadi begitu mengharu biru, sepi, sedih, dan hampa. Sering aku harus mematikan nada suara di kamarku, karena aku merasa sangat terganggu, tapi tanganku terus meraih handphone hitamku atau putihku, mengangkatnya, dan menyimak, kalau-kalau ada simbol si telepon hijau bertengger di sana. Sesekali ada, tapi ketika aku membukanya, bukan darinya. Dan aku selalu melirik ke identitasnya, belum dibaca. Aneh. Dia bilang dia sangat sibuk kemarin, tapi hingga sore, senja, tarawih berakhir, bahkan hingga malam saat mataku sudah tak sanggup lagi berjaga, tak ada pesan darinya.

Pagi ini, saat mataku terbuka pertama kali, bahkan belum benar-benar terbuka, aku langsung meraih si hitam. Aku melihat dua pesan, darinya.

Tarawih dulu,

Ya Say.

Sudah, itu saja. Dan aku menatap jam yang ditunjukkan di sana, 22:19 WIB, aku sudah tertidur mungkin, atau aku sudah dalam keadaan terpuruk tanpa asa.

Iya Sayang...

Itu jawabanku. Tidak lebih. Kerana aku tidak ingin lagi mengumbar kata-kata yang hanya dibaca dan dijawab sepatah dua olehnya. Semua sudah berubah. Cepat. Hanya dalam waktu tiga empat hari. Dan malam ini, rembulan membawa cintaku pergi, melayang-layang entah ke mana. Aku bahkan tidak tahu, apakah rembulan akan mengembalikannya padaku esok pagi.

Dan hari ini, aku lebih suka mengatakan bahwa dia tidak membalas pesanku. Begitu, lebih bisa mewakili perasaanku saat ini. Satu simbol ciuman dikirimkannya dinihari. Aku membalasnya dengan gambar yang sama di subuh hari. Lalu aku menambahkan dua pesan di pagi hari, setelah aku selesai menuliskan karanganku, dan satu lagi di siang hari, ketika aku mengetahui bahwa dia telah membaca pesanku. Sama saja. Dua centang biru di sore hari, dan tidak ada pesan darinya. Ah, mungkin rembulan lupa mengembalikannya padaku hari ini. Mungkin dia sedang berkelana di atas sana dan tidak ingin pulang. Mungkin dia berjumpa dengan bidadari-bidadari yang lebih cantik jelita. Atau mungkin, memang dia benar-benar sibuk. Entahlah. Hanya dia dan Tuhan yang tahu.

Malam sudah hadir lagi. Rembulan sudah menunggu di sana. Cuaca sangat bersahabat. Dan aku masih belum mendapatkan kata-kata yang biasa dia ucapkan, kapanpun dia ingin mengucapkannya padaku. Tawanya, gambar-gambarnya, pesan-pesannya yang nampak kekanakan dan jenaka, bahkan ucapan-ucapannya yang mengandung narkoba, memabukkan. Akan menunggu. Aku masih menunggu. Aku tak tahu dimana rembulan akan menjemputnya. Aku bahkan tak tahu, apakah rembulan sudah mengembalikannya ke bumi kemarin malam atau tadi pagi. Aku hanya tahu, rembulan sudah menunggunya di sana.

* * *

Ting. Ting. Ting. Suara denting piano di handphoneku beberapa kali. Karena aku sedang membaca dari handphoneku dan tidak ingin diganggu, maka aku diamkan saja. Berganti dengan nada suara telephon masuk, identitas penelepon menutupi layar bacaanku, berganti penuh dengan layar telepon, dan simbol terima atau tolak. Aku diamkan saja hingga mati. Ting. Ting. Suara ini kembali lagi menggantikan suara dering telephon. Ah, aku malas sekali diganggu jika sedang membaca. Kutarik layar hanphoneku di bagian atas, muncul beberapa simbol pilihan, lalu aku pencet gambar suara dua kali, ‘silent’. Tapi tiba-tiba aku tertarik dan penasaran dengan gambar simbol whatsapp warna hijau yang nangkring di sana. Aku menyentuhnya. Whatsappku terbuka. Ada beberapa. Salah satunya dari teman baruku, lelaki, namanya Chan. Aku membukanya. Gambar pemandangan alam. Lalu aku menyentuh gambar itu dan membesarkannya. Sepertinya aku mengenalinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun