Pekerjaan menenun telah dikerjakan para wanita Kupang secara turun menurun, bahkan karena memiliki kesulitan yang relatif tinggi, kerajinan ini dianggap sebagai harta keluarga. Menenun sendiri merupakan aktivitas membuat selembar kain dengan cara memasukkan benang pakan secara horizontal pada benang-benang yang sebelumnya telah diikat dan dicelupkan ke pewarna alami yang terbuat dari akar atau getah pepohonan.
Meskipun setiap daerah memiliki jenis kain, cara pengerjaan, dan motif yang berbeda-beda, dari perempuan-perempuan pengrajin fashion tradisional inilah kita belajar bagaimana memanfaatkan alam secara bijak tanpa harus merusaknya. Seperti yang kita tahu, hasil tenun dan kain tradisional yang dikerjakan perempuan pengrajin ini dapat digunakan dalam waktu yang lama, tidak termakan tren, bahkan dahulu tidak sedikit yang menjadikannya sebagai 'warisan' untuk anak dan cucunya.
Agar produksi fashion dari pengrajin kain tradisional dapat disukai dan tetap dapat berjalan, hadir perempuan-perempuan tangguh yang menggabungkan antara tradisi dengan teknologi terkini dan dikerjakan dengan ramah lingkungan
Kearifan dari para perempuan pengrajin kain tradisional inilah yang mengilhami para perempuan kreatif lainnya untuk menciptakan fashion kekinian dari kain yang dikerjakan secara ramah lingkungan dan minim bahan bakar fosil. Ini merupakan salah satu usaha menciptakan transisi energi adil sembari memprioritaskan keadilan ekonomi, ras, dan gender.
Perempuan-perempuan dalam Transisi Energi Adil
Sebut saja Alvira Oktaviani, perempuan asal Bantul, Yogyakarta ini menghasil 'mengawinkan' teknik ecoprint kulit kayu lantung khas Bengkulu. Banyak yang tidak tahu apa itu kulit kayu lantung? Kulit kayu lantung merupakan Warisan Budaya Tak Benda Indonesia dari Provinsi Bengkulu yang dahulu dibuat dengan memukul-mukul kulit kayu bagian tengah hingga kulit kayu menjadi lebar, tipis, rata, dan lembut. Selanjutnya, kulit yang telah ditipiskan tersebut diangin-anginkan selama dua minggu hingga menghasilkan kain kulit kayu lantung yang siap dijadikan pakaian. Kulit kayu yang digunakan biasanya  dari kulit pohon karet, ibuh, terap, dan kedui.
Setelah menjadi lembaran kain, ia mengolah serat alami dari kulit kayu lantung menjadi produk fashion seperti tas, kain, syal, baju, kemeja, dompet, dan lain sebagainya berdesain kekinian. Untuk mendukung usaha fashionnya ini, Alvira dibantu oleh kurang lebih 10 Ibu rumah tangga yang tinggal di sekitar rumahnya.
Selain itu ada juga Thia Yufada, perempuan yang berhasil mengangkat produk kain Gambo Muba hingga ke level internasional. Kain Gambo Muba merupakan jenis wastra yang dikerjakan dengan teknik ikat celup. Kain Gambo Muba ini menggunakan getah gambir sebagai pewarna alami tanpa campuran bahan kimia lainnya. Dari yang awalnya jumlah pengrajin dapat dihitung dengan jari, kini sudah dapat kita jumpai ratusan pengrajin kain Gambo Muba.
Alvira Oktaviani ataupun Thia Yufada barulah dua dari perempuan yang mengangkat perekonomian daerah setempat tanpa memandang ras maupun gender lewat sektor fashion, namun tetap dapat menjaga keasrian lingkungan yang sudah ada dengan melakukan transisi energi adil. Berharap semakin banyak perempuan-perempuan lain peduli dengan fashion yang dikenakan, baik sebagai pengrajin atapun penikmat fashion. Perempuan yang menggunakan fashion tidak hanya bagus tetapi tidak menyumbang limbah dalam pengerjaan maupun setelah pemakaian.