Mohon tunggu...
Ninin Rahayu Sari
Ninin Rahayu Sari Mohon Tunggu... Jurnalis - https://nininmenulis.com

Former Journalist at Home Living Magazine n Tabloid Bintang Home - Architecture Graduate - Yoga Enthusiast - Blogger at www.nininmenulis.com - Coffee Addict - Morning Person

Selanjutnya

Tutup

Beauty

Perempuan dalam Lingkaran Fashion Berkelanjutan

19 Juni 2024   10:19 Diperbarui: 19 Juni 2024   10:31 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Perempuan dan fashion. Dua hal yang sulit dilepaskan. Tidak dapat dipungkiri kalau perempuan lebih menyukai fashion katimbang pria. Kecintaan akan fashion tidak hanya sekadar mengikuti tren terbaru, tetapi tentang bagaimana mengekspresikan diri, merawat diri, atau hanya untuk mencari kesenangan karena menemukan sesuatu yang baru dan berbeda. Iming-iming harga beli yang murah, promo, sale, dan diskon 'menjebak' perempuan dalam fast fashion yang pada akhirnya menjadi pelaku fashion waste.

Seperti yang kita ketahui fast fashion waste atau limbah pakaian menyumbang 2,5% dari total volume sampah. Bahkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) 2021 melalui SIPSN mengungkapkan, Indonesia menghasilkan 2,3 juta ton limbah pakaian atau setara dengan 12% dari limbah rumah tangga. Dan jumlah ini akan terus meningkat setiap tahunnya.

Thrifting yang awalnya dianggap dapat mengurangi limbah fashion, pada akhirnya justru memberikan dampak buruk tidak hanya untuk lingkungan namun juga para pelaku UMKM tanah air yang bergerak dibidang fashion. Untuk lingkungan, tidak sedikit thrifting pakaian bekas impor justru berakhir di tempat pembuangan akhir (TPA). Pergantian tren fashion yang sangat cepat mengakibatkan pakaian yang tidak lama digunakan harus terbuang. Sehingga banyak negara berkembang yang mengimpor pakaian bekas tersebut, termasuk Indonesia.

Untuk itulah pemerintah mengeluarkan peraturan mengenai pelarangan thrifting dan tentang barang-barang dilarang ekspor juga impor. Larangan tersebut merupakan kebijakan pemerintah untuk melindungi kesehatan masyarakat karena dampak negatif dari pakaian bekas impor tersebut.

Thrifting dan Tradisi Ngelungsur
Namun jangan salah paham dulu, pemerintah bukannya melarang adanya thrifting, tetapi pemerintah melarang adanya impor pakaian bekas yang ilegal. Pemerintah tidak melarang adanya perdagangan baju bekas, asalkan baju bekas tersebut adalah barang bekas produksi dalam negeri, barang bekas yang diimpor pun diperbolehkan asalkan sesuai dengan aturan atau masuk secara legal.

Padahal sebelum tren thrifting marak, kita juga memiliki budaya memanfaatkan pakaian bekas yang lebih aman dan telah ada sejak dulu, bahkan mungkin generasi Ayah dan Ibu kita masih mengalaminya. Tradisi Ngelungsur. Tradisi dimana 'mewariskan' barang-barang secara turun menurun, biasanya dari anak pertama ke anak kedua, dan seterusnya. 

Barang yang dilungsurkan pun tidak hanya pakaian, bisa sepatu, sepeda, bahkan buku pelajaran. Selain untuk menghemat pengeluaran keluarga, tradisi ngelungsur juga untuk mengurangi baju yang akhirnya akan terbuang sia-sia.

Sayangnya tradisi ngelungsur pun kini telah hilang seiring dengan naiknya daya beli masyarakat, turunnya harga produk fashion di pasaran, dan pendeknya siklus tren model baju. Pertanyaannya apakah tradisi ngelungsur bisa dihidupkan kembali untuk menghemat anggaran dan menyelamatkan bumi dari limbah fashion, namun tidak merugikan industri fashion? Jawabnya bisa dan ini diperlukan pemikiran kreatif karena tentunya akan hadir lini bisnis baru lainnya seperti bisnis vermak baju.

Saat ini akibat dari limbah fashion, menurut data National Geographic menjadikan industri fashion bertanggung jawab atas sekitar 20% pencemaran air bersih dan 10% emisi karbon secara global, yang menjadi salah satu penyebab perubahan iklim.

Pada akhirnya kaum perempuan juga yang menjadi kelompok rentan terhadap krisis perubahan iklim ketimbang pria atau orang-orang yang bergerak di sektor pertanian dan peternakan saja. Contohnya para perempuan pengrajin tenun di daerah Kupang, Nusa Tenggara Timur yang tidak dapat melakukan aktivitasnya karena krisis iklim yang melanda menjadikan iklim Kupang terasa panas seperti menusuk kulit atau hujan lebat yang sering menyebabkan banjir. 

Dengan iklim yang tidak mendukung, para pengrajin yang notabene bergerak dibidang fashion tersebut tidak bisa melakukan aktivitas menenun. Tentu saja hal ini akan berdampak ke sektor ekonomi masyarakat sekitar.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Beauty Selengkapnya
Lihat Beauty Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun