Tingkat polusi Jakarta yang tinggi pada Selasa (29/8) lalu tidak menyurutkan langkahku untuk bertemu sosok inspiratif yang satu ini. Dengan menggunakan transportasi publik sampailah di salah satu kantor pusat partai terbesar di Indonesia, dan kebetulan ia sedang memberikan pelatihan di sana.
Sosok berjas abu-abu bercelana hitam di depan pintu utama langsung mudah dikenali karena bak seorang model. Tidak mengherankan mengingat ia pernah mengikuti ajang pemilihan model di salah satu majalah remaja Ibukota. Dia ialah Adhitya Putra Lanae, salah satu penerima SATU Indonesia Award (SIA) 2021 di bidang lingkungan. Melalui Climate Institute yang didirikannya bersama ke-empat rekan lainnya, Adhit, demikian ia disapa, menebar kepedulian pada perubahan iklim.
Melalui perbincangan ringan meluncurlah cerita bagaimana awal ketertarikan hingga akhirnya ia membentuk Climate Institute dan menebarkan kepedulian akan pentingnya menjaga lingkungan. "Saya memiliki ketertarikan besar dengan isu yang sedang dibahas oleh PBB, termasuk masalah perubahan iklim," buka Adhit ramah.
Climate Institute Wadah Edukasi Perubahan Iklim
Bagi pria kelahiran Baubau, Sulawesi Tenggara ini, cara pandang masyarakat Indonesia khususnya di kota besar seperti Jakarta mengusik sisi kepeduliannya. "Di Indonesia naik transportasi publik dianggap hal yang tidak eksklusif. Padahal sebagai masyarakat urban seharusnya kita lebih mengutamakan transportasi publik katimbang kendaraan pribadi yang turut menyumbang polusi," ujarnya.
Bukan hanya masalah penggunaan transportasi, kebiasaan seperti membuang sampah, pemakaian kemasan sekali pakai, penggunaan plastik, dan lain sebagainya yang bagi banyak orang dianggap kecil justru berdampak besar pada perubahan iklim. "Setiap hari kita sudah terlalu nyaman dengan itu semua, untuk itu pentingnya #UbahPerilaku mulai dari diri sendiri untuk menjaga lingkungan," kata Adhit. Kepeduliannya inilah yang coba ia tularkan khususnya ke kaum muda melalui workshop, seminar, dan aksi nyata melalui program lingkungan yang ia miliki di Climate Institute.
"Semua berawal saat mengikuti salah satu workshop tentang perubahan iklim di Bali. Dari seluruh peserta yang terpilih seluruh Indonesia, lima orang tinggal di Jakarta. Selesai workshop kelima orang ini berkumpul kembali dan timbul inisiatif untuk membentuk komunitas edukasi yang konsen dengan perubahan iklim. Komunitas itu kami beri nama, Indonesian Youth Team for Climate Change (IYTCC)," cerita Adhit yang mengangkat tema masyarakat adat dan hutan ke dalam tulisannya yang akhirnya mengantarnya terpilih menjadi salah satu peserta workshop.
Baru pada 2017, setelah mendapat dukungan pendanaan dari Friedrich Naumann Foundation (FNF), NGO asal Jerman, komunitas Indonesian Youth Team for Climate Change (IYTCC) pun dilegalkan dan diberi nama Climate Institute.
Menyasar ke generasi muda dan masyarakat setempat, Climate Institute memiliki banyak program edukasi tentang perubahan iklim dan lingkungan melalui pengadaan seminar, workshop, penanaman pohon bersama, membersihkan sampah plastik, hingga bagaimana proses daur ulang yang dapat memberikan nilai ekonomis. "Di Climate Institute, kami ingin memberikan pengalaman dan kewaspadaan lingkungan, serta memberikan solusi bagaimana cara menanggapi kerusakan lingkungan secara kreatif dan memberikan nilai ekonomis bagi banyak orang," lanjutnya.
Hingga kini sudah lebih dari 50 workshop diadakan di beberapa daerah di Indonesia, seperti Jakarta, Tangerang, Bogor, Jambi, Nusa Tenggara Timur, Bali, Surabaya, Bandung, Menado, Medan, Nusa Tenggara Barat, dan Semarang dilakukan Climate Institute untuk menyadarkan akan pentingnya menjaga lingkungan. "Khususnya di wilayah Jabodetabek, dalam sebulan Climate Institute bisa memberikan workshop hingga 2-3 kali," tambah Adhit.
Untuk menyuarakan kepedulian lingkungan secara lebih luas lagi, Climate Institute juga bekerja sama dengan beberapa NGO dan LSM, komunitas lokal, lembaga pemerintah di bawah Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia, lembaga-lembaga pemerhati lingkungan, hingga partai politik. Semua ini dilakukan sebagai upaya untuk memberikan solusi kehidupan yang lebih baik. "Karena ingin suara kami didengar, saya juga bekerjasama dengan komunitas dari sayap-sayap partai di Indonesia yang juga konsen masalah lingkungan," tutur Adhit.
Dalam menyuarakan kepeduliannya dengan perubahan iklim, dalam setiap kegiatan yang dilakukan Climate Institute selalu memberikan tema-tema menarik yang nantinya dapat menarik minat para generasi muda, seperti Youth Climate Camp, Climate Day di kampus-kampus, Climate Week, Climate Action, Climate Influencer, Climate Blogger, serta Climate Vlogger dengan mendatangkan para ahli atau ilmuwan lingkungan juga tokoh penting untuk menjadi narasumber. "Tantangannya bagaimana membuat mereka tertarik hadir. Seperti saat mengadakan penanaman pohon bakau di salah satu pesisir pantai Semarang, Climate Institute sampai menyediakan panggung hiburan dangdut,"Â seru Adhit.
Mulai dari Ubah Perilaku
Meskipun kini tinggal dua orang pendiri yang aktif, Climate Institute telah mencetak ratusan alumni dari workshop dan seminar yang telah dilakukan di beberapa daerah. Mereka pun memiliki ratusan volunteer yang selalu membuka peluang terhadap komunitas baru, mengedukasi, dan melakukan aksi nyata dalam mengatasi permasalahan lingkungan dan perubahan iklim.
Menarik minat dan kepedulian anak muda dengan masalah lingkungan tidak semudah yang dibayangkan. Nyatanya masih banyak anak muda yang kurang paham bagaimana menjaga lingkungan. Bagi Adhit, "menarik rasa keingintahuan mereka sama sulitnya dengan mengubah perilaku itu sendiri." Sebagian dari mereka disibukan urusan ekonomi, sedangkan sebagian lagi tidak peduli bahwa sekecil apapun kontribusi yang dilakukan dapat memberikan dampak yang besar. "Yuk kita mulai dari hal yang paling kecil, misalnya buang sampah pada tempatnya," ajak Adhit.
Sebagai paru-paru dunia dengan hutan terbesar nomor dua di dunia, di sisi lain Indonesia justru memiliki kota-kota besar dengan tingkat polusi berbahaya tertinggi di dunia. Sungguh hal yang sangat disayangkan. Seperti yang dikatakan Adhit bahwa kesadaran akan kepedulian lingkungan itu tidak berbanding lurus dengan tingkat perekonomian dan pendidikan seseorang.
"Untuk itulah diperlukan peran serta dari semua pihak. Mulai peran masyarakat, komunitas lingkungan, hingga pemerintah sebagai pemegang kebijakan,"Â sambung Adhit. Tidak seperti yang terjadi saat ini dimana beberapa pihak saling lempar kesalahan karena tingkat polusi yang tinggi.
Daripada saling menyalahkan, Adhit mengajak kita semua untuk mengubah perilaku mulai dari hal terkecil yang dapat kita lakukan, misalnya dengan membuang sampah pada tempatnya, naik transportasi publik, tidak menggunakan kemasan plastik sekali pakai, dan lain sebagainya. "Pemerintah juga perlu meninjau kebijakan yang terkait dengan lingkungan, khususnya mengenai renewable energy. Sehingga di masa depan tidak ada lagi kasus tingkat polusi tinggi seperti sekarang," ujar pria lulusan Hubungan Internasional FISIP-UI ini.
Sebelum mengakhiri perbincangan, Adhit berharap melalui Climate Institute semakin banyak pihak yang tersentuh turut peduli lingkungan dan perubahan iklim. "Saya berharap kedepannya, Climate Institute tidak hanya mengedukasi masyarakat tetapi lebih besar dari itu dapat mengedukasi usaha-usaha yang turut andil dalam merusak lingkungan."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H