Sudah jalan tujuh tahun, bulan Ramadan tidak seindah masa-masa sebelumnya. Meskipun berlimpah pahala dan anugerah, sekarang selalu ada rasa khawatir setiap memasuki bulan Ramadan. "Apakah aku dapat melewatinya dengan baik-baik saja?" menjadi pertanyaan yang selalu hadir saat memasuki bulan puasa. Ya Ramadanku memang tidak seindah dulu, Ramadanku terasa pilu saat Bapak meninggal tepat di puasa hari kelima, Ramadan 2016. Bapak pergi di bulan di mana semua kenangan tentang bulan ini banyak dihabiskan bersamanya.
Di mata aku kecil dulu, Ramadan yang dilewati terasa biasa saja, tidak ada yang terasa istimewa. Tidak seperti anak lain dari keluarga berkecukupan yang dibawa berbuka puasa di restoran mahal dan tarawih di masjid mewah terbesar, aku cukup berbuka dengan masakan Ibu dan hanya diajak Bapak tarawih di masjid dekat rumah. Saat aku meminta tarawih di masjid mewah, Bapak berkata, "sama saja. Kamu sholat di masjid mana pun ya sama saja." Begitu dan itu selalu diucapkan hingga aku bosan meminta sholat di masjid mewah lagi.
Saat pertama tarawih biasanya masjid penuh hingga ke teras luar. Karena aku sholat di shaf wanita, agar aku tidak hilang dan mudah dicari saat pulang, Bapak menaruh aku di sudut teras paling depan. Bertambahnya hari, jumlah yang tarawih pun semakin sedikit dan semakin lama hanya menyisakan beberapa shaf di dalam. Karena ingat pesan Bapak agar aku mudah dicari, aku pun selalu memilih tempat sholat yang sama, di sudut teras padahal semua di dalam. Aksiku ini ternyata mengundang tawa orang yang tarawih saat itu, dan alhasil aku ngambek sama Bapak ketika pulang.
Belum lagi kenangan saat sahur. Bapak sudah seperti bedug masjid yang selalu rajin dan rutin membangunkan aku dari tidur, bahkan di saat sulit bangun pun Bapak pantang menyerah membangunkanku. Dan ketika waktu berbuka, hanya aku dan Bapak yang gemar mengumpulkan takjil hingga Ibu selalu berkata, "ini Bapak sama anak sama saja. Nanti siapa yang menghabiskan semua takjil ini?"
Tidak hanya saat tarawih dan saat menjalankan puasa saja, sampai hal sekecil seperti saat menunggu hasil sidang isbat di awal Ramadan ternyata banyak kenangan yang aku lewati bersama Bapak. Di saat ini, aku dan Bapak biasanya sudah nongkrong di depan televisi untuk mendengar keputusan hasil sidang isbat awal Ramadan. Jika hasil sidang isbat keluar, aku dan Bapak secepatnya mengambil perangkat sholat dan pergi ke masjid untuk tarawih. Tidak tahu kenapa, kebiasaan menunggu sidang isbat berdua Bapak ini telah menjadi kebiasaan sejak aku kecil hingga saat puasa terakhir bersama Bapak.
Siapa yang menyangka dari hal yang dulu terasa remeh hanya menunggu hasil sidang isbat, sekarang menjadi hal yang paling aku rindukan. Tanpa Bapak, menunggu hasil sidang isbat terasa tidak menarik lagi dan tanpa Bapak, waktu sahur, berbuka, dan tarawih tidak lagi ramai seseru dahulu. Sekarang Ramadanku adalah bulan dimana aku merindukan Bapak di setiap jejak ibadah Ramadan yang aku jalani.Â
Al Fatihah untuk Bapak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H