Wanita di Bibir Telaga
Ninik Sirtufi Rahayu
Matahari mulai tergelincir ke barat daya menyisakan semburat jingga. Indah nian tiada terkata. Dedaun menari gemulai diterpa pawana. Aduhai ... senja membersamai swastamita.
Mita, panggilan sayang buat Swastamita, sedang merenung di bibir telaga. Ya, rumah peninggalan almarhum kakek nenek berupa villa semenjana itu memang berada jauh dari kota. Tepatnya di sebuah dusun tepian desa. Di tempat sebuah telaga berada.
Berjarak hanya ratusan langkah ke muka, sampailah ia di bibir telaga. Di tempat itu dibangun sebuah dermaga yang  konon ... dulunya merupakan tempat singgah beberapa lakara. Perahu kecil yang menghubungkan dari desa ke desa di seberang sana. Desa tetangga. Membuang sauh yang cuma berupa tali-temali belaka hingga si lakara tak hanyut ikuti riak yang tiba.
Mita, gadis yang beranjak remaja itu sungguh elok rupa. Rambut terurai bagai mayang dibelai angin jenaka. Di sela-sela baby hair pun beberapa dedaun gugur menghiasnya. Seolah si daun ingin dijadikannya mahkota.
Hingga senja pun tiba, senyum simpul si gadis merona. Mungkin sedang membayangkan seorang jejaka perkasa datang mengajaknya berdansa. Di atas permukaan air, di tengah-tengah telaga. Sementara, seolah-olah didengarnya pula dari surga alunan biola dan harmonika. Berpadu suara membentuk harmoni nada dan irama. Namun, suara hanyalah suara. Ia tak sampai ke ruang dengar si gadis jelita.
***
"Maksudmu apa, Mas? Mengapa kau tega lakukan ini padaku?" tanya Lupita kepada Reihan kekasih hatinya.
"Aku sudah bosan, Pita! Kau cuma bisa merecokiku saja!"
"Merecoki gimana? Bukankah ini atas kemauan kau juga?"
"Ya, ... tapi maunya kan kita cuma senang-senang saja! Enggak kaya gini juga!"